BERHENTILAH SEBELUM GELAP

0 comments

Mengingat masa lalu, tepatnya diakhir tahun 80-an sampai awal 90-an, aku selalu melakukan pendakian pada malam hari. Alasannya simple saja waktu itu, biar gak berasa cape. Selain faktor keterbatasan logistik. Zaman itu, ya masanya susah. Kiriman dari ortu sangat terbatas, sekali naik gunung jika ngikut standard bisa puasa sebulan. apalagi kalau naiknya yang jauh2, wah.. bisa berbulan2 survival di kampus.

Merapi lewat jalur selatan adalah favorite untuk menuntaskan hasrat mendaki. Dari Kampus IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, tingga jalan kaki sekitar satu kilo (perempatan Jl. Solo - Gejayan) untuk bisa naik bus BAKER jurusan Kaliurang. Bus terakhir jam 16.00 wib dengan ongkos Rp. 500,- Sesampe Terminal Kaliurang, kami akan menuggu sampai post penjagaan wisata tutup biar gratis. Selanjutnya berjalan kaki menuju Dusun Kinahrejo yang berjarak kurang lebih 3 Km atau Bebeng.

Sesampai Kinahrejo, kita bisa bebas memilih rumah penduduk atau warung yang buka 24 jam. Bisa santai, ngobrol ngalor ngidul menunggu waktunya untuk mulai mendaki. Umumnya saat itu, jam 22, sudah mulai ada yang mulai jalan. Aku sendiri selalu naik sekitar jam 00 atau jam 1.00 wib. Jam segitu, sudah sepi, tinggal beberapa orang saja yang baru mulai mendaki pada jam segitu. Sehingga kita bisa berjalan lebih cepat tanpa harus antri pada beberapa jalur sempit setelah post rudal (post dua). Disebut rudal karena disana ada monumen rudal. di post ini juga ritual labuhan Merapi dilakukan.

Mendaki malam, apalagi dengan rombongan kecil atau bahkan solo, memang terasa lebih cepat. Selain istirahat hanya sekedarnya, jalanan menjak yang membuat mental down tidak begitu terlihat jelas. Udara dingin memaksa kita untuk terus bergerak. cuaca dingin juga menyebabkan kita tidak tidak terlalu merasa haus sehingga menghemat air. dan yang terpenting yang dipikirkan untuk mendaki Merapi saat itu adalah, sesampe pawon semar -  asap belerang tidak begitu pekat dan bau. sangat berbeda jika kita sesampai kepulan asap belerang itu pada siang hari. selain pasiran pada batas vegetasi juga masih padat, sehingga lebih mudah untuk dilewati.

Berbagai pertimbangan itu di atas, akhirnya melupakan sisi lain yang jauh lebih penting dalam pendakian,  KESEHATAN dan KEAMANAN itu sendiri.

Kesehatan itu..

Manusia didisain sebagai mahluk yang aktif pada siang hari. Malam hari adalah masa untuk mengistirahatkan tubuh. Cukup banyak hasil riset menunjukan implikasi manusia yang tidak menggunakan waktu istirahat pada malam hari terhadap organ-organ tubuh. Jangankan tubuh dipaksa untuk bekerja, sekedar tidak tidur saja akan berpengaruh besar.  

Beberapa penelitian menyebutkan secara general sebagai dampak orang tidak tidur malam, seperti meningkatkan risiko diabetes, obesitas, hypertensi, kangker dan jantung. ada juga yang menyajikan lebih rinci bahkan detil. Akibat terganggunya jam bioligis tubuh menyebabkan kekacauan. kurang tidur akan menyebabkan gangguan pada fungsi hati. gangguan ini dapat memicu kangker hati atau hepatitis C.

Beberapa refrensi menyebutkan ritme tubuh sesuai dengan jam adalah:
  • Pukul 21.00-23.00: terjadi pembuangan zat beracun di bagian kelenjar getah bening. Oleh karenanya, pada waktu tersebut haruslah dilewati dengan keadaan yang rileks. Apabila di waktu itu seorang  masih melakukan aktivitas yang berat maka akan mengganggu kesehatannya. Itulah salah satu alasan bahaya begadang bagi tubuh kita.
  • Pukul 00.00-04.00: sumsung tulang belakang menghasilkan darah. Proses ini berlangsung dalam keadaan tidur.
  • Pukul 01.00-03.00: terjadi pengeluaran zat beracun di bagian empedu. Proses ini berlangsung dalam keadaan tidur. Untuk itu jangan begadang karena akan menghancurkan organ tubuh ini.
  • Pukul 03.00-05.00: pembersihan di bagian paru-paru. Proses ini akan mengakibatkan batuk yang cukup hebat karena de-toxin sudah mencapai saluran pernafasan. Sehingga batuk ini tidak perlu diobati agar tidak mengganggu proses de-toxin.
  • Pukul 05.00-07.00: proses de-toxin di bagian usus besar. Sehingga buang air diperlukan pada waktu itu.
  • Pukul 07.00-09.00: terjadi proses penyerapan nutrisi makanan di bagian usus kecil. Sehingga diperlukan makan pagi untuk melindungi kesehatan kita.

 Nah, dari informasi ini kita bisa melihat jika melakukan pendakian pada malam hari?

Faktor Keamanan

Sukses berpetualang di alam bebas adalah kembali dengan selamat sampai rumah dan kembali dapat melakukan aktifitas dengan produktifitas yang meningkat. Mencapai puncak sekalipun itu menjadi target dalam pendakian, harus dikesampingkan jika dapat membahayakan keselamatan, apalagi sampai mengancam jiwa. Gunung dan puncaknya akan tetap dengan setia di tempatnya. sekalipun faktor penyerta, tentu akan mempengaruhi kesempatan kita untuk bisa kembali menjajakinya. tapi itu dapat diusahan. Berbeda jika jiwa melayang atau kemampuan kita menurun akibat kecelakaan.

Mendaki pada malam hari memiliki risiko lebih besar dibandingkan pagi - sore hari. Risiko bisa karena faktor cuaca, faktor cahaya, kondisi tubuh atau beberapa satwa nokturnal yang bisa berbahaya. Beberapa faktor bisa saja diatasi dengan perlengkapan yang memadai. Faktor cuaca, bisa diatasi dengan pakaian hangat, gelap dengan menyiapkan alat penerang yang saat ini sudah sangat canggih. demikian juga satwa yang mungkin berbahaya dengan bergerak secara berombongan. tapi terkait kondisi tubuh yang menuntut untuk beristirahat, tidak bisa. Kondisi tubuh ini pada akhirnya berpengaruh terhadap mental dan fisik. Menurunnya kewaspadaan akibat daya tahan tubuh menurun sangat membahayakan, apalagi pada medan yang sulit dengan suasana yang gelap.

Akan ada pembenar dalam setiap tindakan yang kita lakukan. Ini juga aku alami kok saat masih mendaki malam. "kan gak setiap hari kita begadang, cuma sekali2 aja. jadi gak pengaruh amat lah sama kesehatan", "sampe sekarang kita sehat dan baik2 aja kok kalau pun selalu naik malam", "alah.. ribet amat, badan-badan kita, "ngapain repot sih ngurus orang lain, urus aja dirimu sendiri", "kalau persiapan sudah dilakukan dengan baik, mau naik malam atau siang hari, sama aja kok", dan akan ada banyak argumen pastinya. Tapi yang namanya merasa atau sok  benar, bukan benar beneran bukan?

akhirnya, semua itu akan kembali ke masing-masing juga. Berbagai pertimbangan pada akhirnya akan membuat kita membuat keputusan itu. Membuat keputusan dengan memahami risiko tentu akan sangat baik, karena kita akan juga mempersiapkan berbagai upaya menekan risiko yang mungkin terjadi. 

Namun dari itu semua ada hal yang pasti: 

Gunung itu bukan tempat sampah. Bawa kembali sampahmu kawan......  


PANDEMI COV 19 DAN AKTIFITAS PETUALANGAN

0 comments

Tiga bulan pertama paska negeri ini mengumumkan "darurat" atas pendemic COV 19, bisa jadi negara bagi sebagian orang. Tak pelak bagi organisasi pencinta alam dan anggotanya. ditutupnya aktifitas akademik sebagai bagian pencegahan dan menutup mata rantai penularan, berdampak para aktifitas yang telah direncanakan dalam agenda kerja. Bingung mau ngapain? sudah pasti, karena ini merupakan kejadian pertama yang dirasakan para milenial. Kasus sebelumnya tentu hanya cerita yang tak berbekas dalam ingatan. Selain pandemic serupa terjadi pada masa penjajahan (1918 - 1920), juga karena pengalaman dan pengetahuan tidak menjadi sebuah pembelajaran. Pada kasus wabah seperti flu burung, flu babi, ebola dll, lebih didominasi riung politisnya.

Ada kebanggaan dari berbagai inovasi yang dilakukan Kelompok Pencinta Alam (KPA) mensikapi tantangan pembataasan interaksi sosial ini. Diklat online misalnya. Tentu tidak sederhana menjabarkan gagasan sampai teknis pendidikan dasar pencinta alam yang mengutamakan praktik dan pengalaman langsung dalam proses pendidikannya. Tantangan pertama, sudah pasti dalam mensikapi bebagai perbedaan pandangan sesama pengurus, anggota maupun para senior. Beragam pengetahuan, pengalaman maupun jejaring yang dimilik masing-masing akan mewarnai pendapatnya dengan argumentasi yang bisa jadi sama-sama kuat. tapi harus ada titik temu yang saling menghormati dan menghargai untuk kebaikan organisasi yang dicintainya. tantangan lain tentu dalam merumuskan metode dan pendekatan, proses maupun sistem pemantauan dan evaluasinya dalam satu kesatuan kurikulum yang tetap menjamin produk yagn dihasilkan; pengetahuan, ketrampilan dan perubahan prilaku serta jiwa korsa atas organisasi.

Tidak bisa dipastikannya berapa lama pandemik akan berlangsung, membuat gelisah tidak saja KPA, tapi juga para penggiat alam bebas, khususnya mendaki gunung yang tidak lagi menjadi icon  KPA seperti di era 70 - awal 90an. Setiap orang bisa mendaki gunung. Perlengkapan pendakian yang beragam dan mudah didapat serta relatif terjangkau, keterbukaan informasi serta kemudahan sarana transportasi, menjadikan kegiatan mendaki gunung telah memasuki era wisata masal. pada tahun 2018, Gunung Semeru, jumlah pendaki mencapai 853.016 (detik.com), Gunung Gede Pangrongo 41.063 (TNGGP, 2018), Rinjani 82.779 (TNGR, 2017). Ini belum pendaki yang melakukan pendakian melalui jalur tikus dan tidak terdata. Sebagai gambaran, saat gempa di NTB tahun 2018, jumlah pendaki yang dievakuasi sebanyak 1.226 orang. Dari jumlah ini tentu kita mendapatkan gambaran, berapa jumlah pendaki setiap tahunnya?

Film pendakian yang populer seperti 5 cm dan keberadaan media sosial turut berkontribusi populernya olah raga yang sebelumnya menjadi ciri khas manusia-manusia dengan pakaian sekenanya, rambut gondong berbaji flanel atau kaos oblong dan.... jarang mandi. Perlengkapan gunung yang stylist dan berharga fantastis, juga turut mendongkrang gengsi aktifitas mendaki gunung sebagai olah raga yang keren. wal hasil, medsos seperti FB dan IG, dipenuhi dengan postingan pendakian dengan beragam gaya.

Masa pandemik, tentu menjadi ujian berat bagi pendaki penggila medsos. tiga, empat atau lima bulan tanpa up date status mejeng di puncak atau didepan tenda dengan latar belakang gunung, membuat hidup gak afdol. sehingga mulai kasak kusuk, bagaimana bisa mendaki, sekalipun dengan cara illegal. bahkan cara ilegal pun dipolitisir sebagai bagian tantangan yang memicu adrenalin. dan... jreng.. jreng... jadilah mereka melakukan pendakian ilegal. Tapi sebagai penggila medsos, tentu tidak boleh dilewatkan untuk tetap up load aktifitas illegalnya. video dan foto pun beredar di jagat maya.. tujuan tercapai sudah. urusan di bully, itu perkara lain. ada juga beberapa yang tertangkap tangan dan mendapat black list mendaki beberapa gunung pada kurun waktu tertentu.

Pandemik sebagai media refleksi diri dan pemulihan fungsi ekologis kawasan

Sisi positif dari pandemik dari aktifitas pendakian, tentu bagi alam itu sendiri. Bagi beberapa gunung di kawasan konservasi seperti Gede-Pangrango, Semeru atau  Rinjani, telah ada aturan untuk menutup gunung untuk memberikan kesempatan bagi lingkungan untuk memulihkan diri. Aturan ini juga telah diikuti oleh beberapa gunung non kawasan konservasi seperti Slamet, Sumbing, Arjuno-Welirang dll. sekalipun ini lebih dikaitkan dengan cuaca ekstrim yang dapat membahayakan pendaki.   

Saat pendemic dan upaya pencegahan penyebaran, hampir seluruh gunung tertutup untuk pendakian. Kondisi tiga bulan masa penutupan adalah masa penting bagi kawasan untuk memulihkan dirinya. dari pantauan penduduk lokal, selama masa penutupan, banyak satwa beraktifitas diseputar jalur pendakian. ini tentu menjadi bagian refleksi bagi kita semua, jalur pendakian yang umumnya ramai saat akhir pekan merupakan habitatnya. mereka tentu akan terganggu dengan kehadiran manusia. Belum lagi terkait sampah non organik yang berserakan sepanjang jalur pendakian dan menggunung pada setiap pos.

Pada masa pandic, dimana kita diminta untuk lebih banyak di rumah sejatinya dapat dijadikan untuk refleksi diri atas aktifitas kita di gunung. sebeberapa besar kita merkontribusi menurukan kualitas lingkungan selama kita beraktifitas. juga dapat menjadikan refleksi atas kemampuan terhadap aktifitas pendakian yang aman. apakah kita telah memiliki kemampuan mengelola perjalanan pendakian, memiliki pengetahuan tentang navigasi, survival, pertolongan pertama atau terkait cuaca? selama masa break, kita bisa menggunakan berbagai fasilitas yang ada untuk memperdalam dan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan. Iseng-iseng, kita bisa mempraktikan membuat api dengan peralatan yang ada di alam. mulai mempraktikan membuat bivak, memurnikan air, atau membuka kembali teknik navigasi darat. 

Group pada media sosial, dapat menjadi ajang saling berbagi pengetahuan dan keterampilan. tentu ini akan sangat bermanfaat, selain mulai mencari inovasi dalam mempraktikan pendakian yang aman pada saat wabah masih menjadi ancaman. Dan ini menjadi tantangan bersama tentu, saat gunung-gunung mulai membuka diri kembali dengan berbagai aturan keamanan terhadap penyebaran wabah. Kita dan keluarga kita sangat tidak berharap, kita pulang dari pendakian membawa virus itu ke keluarga kita.


     

  


PENDAKIAN SOLO, kenapa harus dilakukan?

0 comments
Pro kontra selalu muncul diantara para penggiat pendaki gunung atas pendakian solo atau mendaki seorang diri. Bagi yang kontra, aspek keamanan bagi si pendaki sendiri merupakan alasan utama. selain faktor tidak merepotkan orang lain saat terjadi insiden si pendaki. tapi bagi si pelaku, pendakian seorang diri merupakan sebuah tantangan yang memicu adrenalin.  tentu akan muncul rasa bangga dan kepuasan setelahnya. Apakah itu juga jalan untuk terkenal? Bisa jadi, bagi selibiritis gunung, tentu ini akan jadi media juga. Tapi rasa-rasanya, dari sekian pendaki solo, mungkin hanya sedikit yang punya niat untuk jadi terkenal. Karena salah satu yang khas dari pendaki solo itu, jarang mendokumentasikan diri alias selfie. Jarang itu artinya bukan anti atau sama sekali yeee.....

Akhir tahun 80-an sampai pertengahan 90-an, adalah masa merasakan nikmatnya mendaki solo. Mendaki bukan diakhir pekan, bisa jadi kita tidak akan menemukan pendaki selain kita sendiri. Beberapa jalur sepi gunung adalah alternatif lain untuk merasakan kesendirian. Namun, hari dan jalur sepi pengunjung saat ini nampaknya sudah tidak ada untuk gunung2 di Jawa. Ciremai jalur Apuy saat ini telah menjadi jalur favorite yang bisa mencapai 500 orang pendaki dalam satu hari. Demikian juga jalur Selamet via Sirampok atau Guci, Gede via Salabintana, Salak lewat pasir reungit, Merapi melalui Kinahrejo/Bebeng, tlogo lele, Semeru leat Gubuk Klakah dll. Namun untuk gunung-gunung luar jawa, sampai saat ini masih menyediakan kesunyian, terutama jika bukan weekend.

Kembali ke pro dan kontra, tidak bisa disalahkan dari keduanya, karena tentu memiliki argumentasi kuat. Buat yang kontra, alasan keamanan merupakan  hal utama dalam kegiatan alam bebas. bisa merepotkan jika ada insiden merupakan pengembangan argumentasi dari persoalan kemanan. Karena terkait insiden bisa terjadi pada siapapun, baik pendaki solo maupun berkelompok. Proses pencarian dan penyelamatan maupun evakuasi pun tidak berbeda.

Alasan keamanan tersebut umumnya dijawab oleh para pendaki solo dengan menyiapkan berbagai kebutuhan pendakian yang aman. Baik terkait pengetahuan dan keterampilan, kondisi fisik, perlengkapan, perbekalan, maupun sistem komunikasi. Dengan memenuhi keamanan pendakian solo, kehawatiran menjadi minimal. Argumentasi tambahan dari para penggemar mendaki solo, terkait data insiden yang menyebabkan kematian. justru terjadi lebih banyak pada pendaki berkelompok dibanding pendaki solo. Apakah ini terkait dengan pengetahuan, skill dan pengalaman yang dimiliki, perlengkapan yang dibawa serta kesiapan fisik dan mental, atau ada faktor lain?

Dari pengalaman pribadi, dalam pendakian solo memiliki persiapan lebih. Dari mulai mempejari lokasi tujuan dan karakteristiknya plus transport dan sosial budaya masyarakat, peralatan yang akan dibawa sesuai dengan musim, alat navigasi, P3K, logistik sesuai perkiraan waktu pendakian dan dana yang mencukupi, wal hasil, bawaan menjadi lebih jumbo dibandingkan mendaki berombongan. Dan yang pasti, jujur pada diri sendiri serta mendengar masukan, apalagi jika dikaitkan dengan adat atau tradisi setempat. 

Jujur pada diri sendiri, khususnya terkait kondisi fisik ini yang kadang berat. Bisa saja saat kita berangkat dari rumah sampai lokasi kondisi kita sangat fit. Namun selama diperjalanan, entah karena terlalu cape, makan dan tidur kurang teratur atau tertular virus, menyebabkan badan kita drop sesampai base camp. Bisa dibayangkan, sudah datang jauh-jauh, sudah keluar biasa dan waktu, masa gak jadi naik?  Wal hasil, memaksakan diri lah untuk tetap mendaki. hasilnya tentu akan merepotkan diri kita sendiri. bersyukur tidak terjadi insiden, jika iya, tentu akan merepotkan orang lain. untuk itu, jujur pada diri sendiri atas kondisi fisik, kelengkapan alat, ketersediaan logistik maupun hal-hal yang terkait keamanan dan keselamatan menjadi hal utama bagi pendaki solo.

Hal kedua adalah mendengar saran, masukan atau larangan dari warga setempat. Bisa jadi kita datang pada waktu yang tidak tepat. Penduduk tempatan yang lebih memahami karakteristik wilayahnya umumnya akan memberi saran, masukan atau bahkan melarang. Usahakan kita tidak memaksakan diri, apalagi dengan cara meremehkannya. 

Ini pengalaman pribadi saat Mendaki Gunung Ciremai melalui jalur Linggajati. Jalur paling umum untuk mencapai puncak Ciremai selain jalur Palutungan saat itu sekitar tahun 92-an. setelah menempuh perjalanan dari Jogja menggunakan kerenta ekonomi, disambung dengan baik angkot dan bus jurusan kuningan. untuk menuju Rumah Mak Emong sebagai base camp, ya jalan kaki dari jalan besar. 

Sesampai base camp dan bermalam, rencana pagi hari (hari Kamis) akan mulai trakking dan turun dari Apuy. karena pendakian bukan akhir pekan, base camp sepi. tidak ada pendaki. Namun saat mulai berkemas, Mak Emoh ditemani juru kunci mendatangiku dan minta menunda pendakian. saya pun bertanya, trus kapan bisanya kalau tidak hari ini. Kuncen tidak memberi jawaban pasti. bisa besok, lusa atau besok lusa, tergantung kondisinya nanti. Tapi jangan sekarang, kecuali siap menerima risiko?

Saya tidak banyak tanya, apa bentuk risikonya versi Kuncen. Hanya mulai menimbang-nimbang secara rasional. semua perlengkapan sudah lengkap, logistik juga siap untuk lima hari. Demikian juga kondisi fisik yang terasa fit. Egoku mulai menggeliat, apa yang perlu ditakutkan? Jika pun tersesat, bukankan ini akan menjadi bagian dari berlatih survival?

Sepertinya kuncen tahu apa yang kupirkan. Tidak banyak bicara, beliau pamit dan bilang hati-hati. Mak Emoh almarhum (Insya Allah husnul khatimah atas kebaikannya membantu para pendaki) pun tidak banyak bicara. Mungkin tahu, ini orang keras kepala -  gak bisa diomongin selain mengalami sendiri apa yang disebut dengan risiko.

Saya minta doa Mak, dan mulai berjalan perlahan. tidak lagi terpikir soal risiko yang disampaikan sang Kuncen. Menikmati langkah, deru nafas dan datak jantung. Saat memasuki kawasan Kuburuan Kuda, cuaca cerah tiba-tiba berubah gelap diselimuti kabut tebal. Jika diamati, memang berbeda polanya, dimana kabut umumnya datang perlahan untuk sampai gelap. karena kondisi mulai lelah, kondisi kabut dimanfaatkan untuk istirahat sejenak. Kabut tak kunjung beranjak dengan waktu cukup lama. Badan mulai beraksi, menggigil karena dingin. aku coba pakai jaket untuk menahan dingin dan menunggu kabut segera menipis. tak terasa, saya pun tertidur sekejap. Begitu terjaga, suasana sudah terang benderang, tidak ada sedikitpun sisa kabut. 

Saya pun melanjutkan perjalanan. masih tidak terpikir itu adalah sebuah peringatan. Kondisi cerah mengiringi langkah sampai post Pangalap. tiba-tiba, kembali kabut tebal dengan cepat menyelimuti kawasan tersebut. Gelap seperti saat di Kuburuan Kuda. Bedanya, disini hanya sebentar karena tiba-tiba kabut segera hilang dengan cepat dan kembali cerah. Saya pun tidak banyak istirahat disini, karena target mendirikan tenda rencananya di Pengasinan atau bahkan di Puncak.

Bagitu carrier mulai dipunggung dan mulai berjalan kembali. Ditanjakan Bapak Tere, tiba-tiba kabut kembali datang dengan cepat. Lebih gelap dari yang di Kuburan Kuda dan Pangalap. Ada wangi kembang dan dupa yang semakin menguat aromanya. antara sadar dan tidak, diantara kabut tebal, ada sosok yang tidak begitu jelas berpakai resi dengan janggut dan kumis yang panjang. sekalipun terlihat samar, namun tatapan mata tidak ramah jelas terlihat. Hanya melihat, tapi cukup membuat seluruh badan gemetar dan mematung. Entah berapa lama itu terjadi, tapi terasa sangat lama. sampai akhirnya tersadar dengan tiba-tiba, dan kondisi tiba-tiba cerah, sangat cerah. dan saya baru menyadari jika saya tidak lagi menggendong carrier dan telah keluar dari jalur pendakian. tepatnya dipinggiran tebing.

Setelah kesadaran kembali pulih, yang pertama kulakukan adalah menenangkan diri. Duduk bersila dan mengatur nafas dalam-dalam. Cukup lama saya mengembalikan ketentangan diri dan kembali menggunakan logika. disinilah pengetahuan dan keterampilan tentang survival dan navigasi menjadi amat bermanfaat. Awal, saya mencoba mencari bekas jalan yang tadi kulewati. paling tidak, bisa terlihat dari pohon, ranting atau daun yang tersibak. Namun, setelah diamati, tidak ada tanda-tanda aku pernah melewati dari sekeliling tempat aku berdiri terakhir dan duduk menenangkan diri.

Teringat kompas dan peta, tapi.. kedua barang itu ada di carrier. yang terakhir, tentu orientasi medan yang menjadi andalan dan mengamati tanda-tanda alam. Linggajati berada di barat gunung Ciremai. berdasarkan patokan itu, saya mencoba menentukan rute untuk kembali ke jalur pendakian. jreeennggg... ternyata tidak terlalu jauh dari jalur pendakian. saya melihat carrier merah tergeletak disana. entah, bagaimana dan kapan saya melepaskan carrier itu.

Tiga peringatan yang telah diberikan telah cukup membuat aku sadar untuk tidak melanjutkan pendakian. setelah meminta maaf dan berterimakasih secara perlahan, saya pun pamit untuk turun. terasa ringan dan sama sekali tidak terasa cape saat menuruni jalur turun pendakian. sesampai Cibunar, Sang Jurukunci menyambutku dengan senyum ramah. "Kunaon balik deui jang?" (kenapa balik lagi nak). Saya hanya tersenyum dan tak perlu menceritakan apa yang saya alami. saya hanya mengucapkan banyak terimakasih sudah didoakan dan dibantu sang Kuncen sehingga bisa kembali turun. ada obroloan pribadi yang tak perlu kuceritakan disini... hehehehehehe....

Intinya, masukan, saran atau bahkan larangan dari yang dipercaya atas gunung perlu menjadi pertimbangan. tidak perlu mencemooh jika anda tidak percaya. Paling tidak, hormati adat istiadat setempat. dan sungguh, kejadian luar biasa ini sampai saat ini terus membekas dan menjadi dasar bagi saya pribadi untuk menghormati tradisi atau adat istiadat masyarakat.

Lalu bagaimana dengan pengetahuan, skill dan perlengkapan bagi pendaki solo. ah, itu sih gak usah ditanya, karena sifatnya wajib. Kecuali anda emang memiliki rencana untuk berlatih survival betulan. namun sekalipun berniat berlatih, untuk jaga-jaga  ya tetep  perlu disiapin juga. 

Soooo, mendaki solo atau tidak, kembali ke masing-masing lagi. Asalkan syarat2nya terpenuhi. sebagaimana juga dengan pendakian berkelompok, tetap wajib memenuhi syarat utama pendakian. Kondisi sehat, bawa perlengkapan pendakian, P3K, logistik cukup sesuai waktu pendakian dengan diiringi pengetahuan dan keterampilan minimum plus jangan pernah menyepelekan masukan dari warga lokal, khususnya orang yang dipercaya memiliki pengetahuan lebih atas kawasan tersebut.