PENDAKIAN SOLO, kenapa harus dilakukan?

Pro kontra selalu muncul diantara para penggiat pendaki gunung atas pendakian solo atau mendaki seorang diri. Bagi yang kontra, aspek keamanan bagi si pendaki sendiri merupakan alasan utama. selain faktor tidak merepotkan orang lain saat terjadi insiden si pendaki. tapi bagi si pelaku, pendakian seorang diri merupakan sebuah tantangan yang memicu adrenalin.  tentu akan muncul rasa bangga dan kepuasan setelahnya. Apakah itu juga jalan untuk terkenal? Bisa jadi, bagi selibiritis gunung, tentu ini akan jadi media juga. Tapi rasa-rasanya, dari sekian pendaki solo, mungkin hanya sedikit yang punya niat untuk jadi terkenal. Karena salah satu yang khas dari pendaki solo itu, jarang mendokumentasikan diri alias selfie. Jarang itu artinya bukan anti atau sama sekali yeee.....

Akhir tahun 80-an sampai pertengahan 90-an, adalah masa merasakan nikmatnya mendaki solo. Mendaki bukan diakhir pekan, bisa jadi kita tidak akan menemukan pendaki selain kita sendiri. Beberapa jalur sepi gunung adalah alternatif lain untuk merasakan kesendirian. Namun, hari dan jalur sepi pengunjung saat ini nampaknya sudah tidak ada untuk gunung2 di Jawa. Ciremai jalur Apuy saat ini telah menjadi jalur favorite yang bisa mencapai 500 orang pendaki dalam satu hari. Demikian juga jalur Selamet via Sirampok atau Guci, Gede via Salabintana, Salak lewat pasir reungit, Merapi melalui Kinahrejo/Bebeng, tlogo lele, Semeru leat Gubuk Klakah dll. Namun untuk gunung-gunung luar jawa, sampai saat ini masih menyediakan kesunyian, terutama jika bukan weekend.

Kembali ke pro dan kontra, tidak bisa disalahkan dari keduanya, karena tentu memiliki argumentasi kuat. Buat yang kontra, alasan keamanan merupakan  hal utama dalam kegiatan alam bebas. bisa merepotkan jika ada insiden merupakan pengembangan argumentasi dari persoalan kemanan. Karena terkait insiden bisa terjadi pada siapapun, baik pendaki solo maupun berkelompok. Proses pencarian dan penyelamatan maupun evakuasi pun tidak berbeda.

Alasan keamanan tersebut umumnya dijawab oleh para pendaki solo dengan menyiapkan berbagai kebutuhan pendakian yang aman. Baik terkait pengetahuan dan keterampilan, kondisi fisik, perlengkapan, perbekalan, maupun sistem komunikasi. Dengan memenuhi keamanan pendakian solo, kehawatiran menjadi minimal. Argumentasi tambahan dari para penggemar mendaki solo, terkait data insiden yang menyebabkan kematian. justru terjadi lebih banyak pada pendaki berkelompok dibanding pendaki solo. Apakah ini terkait dengan pengetahuan, skill dan pengalaman yang dimiliki, perlengkapan yang dibawa serta kesiapan fisik dan mental, atau ada faktor lain?

Dari pengalaman pribadi, dalam pendakian solo memiliki persiapan lebih. Dari mulai mempejari lokasi tujuan dan karakteristiknya plus transport dan sosial budaya masyarakat, peralatan yang akan dibawa sesuai dengan musim, alat navigasi, P3K, logistik sesuai perkiraan waktu pendakian dan dana yang mencukupi, wal hasil, bawaan menjadi lebih jumbo dibandingkan mendaki berombongan. Dan yang pasti, jujur pada diri sendiri serta mendengar masukan, apalagi jika dikaitkan dengan adat atau tradisi setempat. 

Jujur pada diri sendiri, khususnya terkait kondisi fisik ini yang kadang berat. Bisa saja saat kita berangkat dari rumah sampai lokasi kondisi kita sangat fit. Namun selama diperjalanan, entah karena terlalu cape, makan dan tidur kurang teratur atau tertular virus, menyebabkan badan kita drop sesampai base camp. Bisa dibayangkan, sudah datang jauh-jauh, sudah keluar biasa dan waktu, masa gak jadi naik?  Wal hasil, memaksakan diri lah untuk tetap mendaki. hasilnya tentu akan merepotkan diri kita sendiri. bersyukur tidak terjadi insiden, jika iya, tentu akan merepotkan orang lain. untuk itu, jujur pada diri sendiri atas kondisi fisik, kelengkapan alat, ketersediaan logistik maupun hal-hal yang terkait keamanan dan keselamatan menjadi hal utama bagi pendaki solo.

Hal kedua adalah mendengar saran, masukan atau larangan dari warga setempat. Bisa jadi kita datang pada waktu yang tidak tepat. Penduduk tempatan yang lebih memahami karakteristik wilayahnya umumnya akan memberi saran, masukan atau bahkan melarang. Usahakan kita tidak memaksakan diri, apalagi dengan cara meremehkannya. 

Ini pengalaman pribadi saat Mendaki Gunung Ciremai melalui jalur Linggajati. Jalur paling umum untuk mencapai puncak Ciremai selain jalur Palutungan saat itu sekitar tahun 92-an. setelah menempuh perjalanan dari Jogja menggunakan kerenta ekonomi, disambung dengan baik angkot dan bus jurusan kuningan. untuk menuju Rumah Mak Emong sebagai base camp, ya jalan kaki dari jalan besar. 

Sesampai base camp dan bermalam, rencana pagi hari (hari Kamis) akan mulai trakking dan turun dari Apuy. karena pendakian bukan akhir pekan, base camp sepi. tidak ada pendaki. Namun saat mulai berkemas, Mak Emoh ditemani juru kunci mendatangiku dan minta menunda pendakian. saya pun bertanya, trus kapan bisanya kalau tidak hari ini. Kuncen tidak memberi jawaban pasti. bisa besok, lusa atau besok lusa, tergantung kondisinya nanti. Tapi jangan sekarang, kecuali siap menerima risiko?

Saya tidak banyak tanya, apa bentuk risikonya versi Kuncen. Hanya mulai menimbang-nimbang secara rasional. semua perlengkapan sudah lengkap, logistik juga siap untuk lima hari. Demikian juga kondisi fisik yang terasa fit. Egoku mulai menggeliat, apa yang perlu ditakutkan? Jika pun tersesat, bukankan ini akan menjadi bagian dari berlatih survival?

Sepertinya kuncen tahu apa yang kupirkan. Tidak banyak bicara, beliau pamit dan bilang hati-hati. Mak Emoh almarhum (Insya Allah husnul khatimah atas kebaikannya membantu para pendaki) pun tidak banyak bicara. Mungkin tahu, ini orang keras kepala -  gak bisa diomongin selain mengalami sendiri apa yang disebut dengan risiko.

Saya minta doa Mak, dan mulai berjalan perlahan. tidak lagi terpikir soal risiko yang disampaikan sang Kuncen. Menikmati langkah, deru nafas dan datak jantung. Saat memasuki kawasan Kuburuan Kuda, cuaca cerah tiba-tiba berubah gelap diselimuti kabut tebal. Jika diamati, memang berbeda polanya, dimana kabut umumnya datang perlahan untuk sampai gelap. karena kondisi mulai lelah, kondisi kabut dimanfaatkan untuk istirahat sejenak. Kabut tak kunjung beranjak dengan waktu cukup lama. Badan mulai beraksi, menggigil karena dingin. aku coba pakai jaket untuk menahan dingin dan menunggu kabut segera menipis. tak terasa, saya pun tertidur sekejap. Begitu terjaga, suasana sudah terang benderang, tidak ada sedikitpun sisa kabut. 

Saya pun melanjutkan perjalanan. masih tidak terpikir itu adalah sebuah peringatan. Kondisi cerah mengiringi langkah sampai post Pangalap. tiba-tiba, kembali kabut tebal dengan cepat menyelimuti kawasan tersebut. Gelap seperti saat di Kuburuan Kuda. Bedanya, disini hanya sebentar karena tiba-tiba kabut segera hilang dengan cepat dan kembali cerah. Saya pun tidak banyak istirahat disini, karena target mendirikan tenda rencananya di Pengasinan atau bahkan di Puncak.

Bagitu carrier mulai dipunggung dan mulai berjalan kembali. Ditanjakan Bapak Tere, tiba-tiba kabut kembali datang dengan cepat. Lebih gelap dari yang di Kuburan Kuda dan Pangalap. Ada wangi kembang dan dupa yang semakin menguat aromanya. antara sadar dan tidak, diantara kabut tebal, ada sosok yang tidak begitu jelas berpakai resi dengan janggut dan kumis yang panjang. sekalipun terlihat samar, namun tatapan mata tidak ramah jelas terlihat. Hanya melihat, tapi cukup membuat seluruh badan gemetar dan mematung. Entah berapa lama itu terjadi, tapi terasa sangat lama. sampai akhirnya tersadar dengan tiba-tiba, dan kondisi tiba-tiba cerah, sangat cerah. dan saya baru menyadari jika saya tidak lagi menggendong carrier dan telah keluar dari jalur pendakian. tepatnya dipinggiran tebing.

Setelah kesadaran kembali pulih, yang pertama kulakukan adalah menenangkan diri. Duduk bersila dan mengatur nafas dalam-dalam. Cukup lama saya mengembalikan ketentangan diri dan kembali menggunakan logika. disinilah pengetahuan dan keterampilan tentang survival dan navigasi menjadi amat bermanfaat. Awal, saya mencoba mencari bekas jalan yang tadi kulewati. paling tidak, bisa terlihat dari pohon, ranting atau daun yang tersibak. Namun, setelah diamati, tidak ada tanda-tanda aku pernah melewati dari sekeliling tempat aku berdiri terakhir dan duduk menenangkan diri.

Teringat kompas dan peta, tapi.. kedua barang itu ada di carrier. yang terakhir, tentu orientasi medan yang menjadi andalan dan mengamati tanda-tanda alam. Linggajati berada di barat gunung Ciremai. berdasarkan patokan itu, saya mencoba menentukan rute untuk kembali ke jalur pendakian. jreeennggg... ternyata tidak terlalu jauh dari jalur pendakian. saya melihat carrier merah tergeletak disana. entah, bagaimana dan kapan saya melepaskan carrier itu.

Tiga peringatan yang telah diberikan telah cukup membuat aku sadar untuk tidak melanjutkan pendakian. setelah meminta maaf dan berterimakasih secara perlahan, saya pun pamit untuk turun. terasa ringan dan sama sekali tidak terasa cape saat menuruni jalur turun pendakian. sesampai Cibunar, Sang Jurukunci menyambutku dengan senyum ramah. "Kunaon balik deui jang?" (kenapa balik lagi nak). Saya hanya tersenyum dan tak perlu menceritakan apa yang saya alami. saya hanya mengucapkan banyak terimakasih sudah didoakan dan dibantu sang Kuncen sehingga bisa kembali turun. ada obroloan pribadi yang tak perlu kuceritakan disini... hehehehehehe....

Intinya, masukan, saran atau bahkan larangan dari yang dipercaya atas gunung perlu menjadi pertimbangan. tidak perlu mencemooh jika anda tidak percaya. Paling tidak, hormati adat istiadat setempat. dan sungguh, kejadian luar biasa ini sampai saat ini terus membekas dan menjadi dasar bagi saya pribadi untuk menghormati tradisi atau adat istiadat masyarakat.

Lalu bagaimana dengan pengetahuan, skill dan perlengkapan bagi pendaki solo. ah, itu sih gak usah ditanya, karena sifatnya wajib. Kecuali anda emang memiliki rencana untuk berlatih survival betulan. namun sekalipun berniat berlatih, untuk jaga-jaga  ya tetep  perlu disiapin juga. 

Soooo, mendaki solo atau tidak, kembali ke masing-masing lagi. Asalkan syarat2nya terpenuhi. sebagaimana juga dengan pendakian berkelompok, tetap wajib memenuhi syarat utama pendakian. Kondisi sehat, bawa perlengkapan pendakian, P3K, logistik cukup sesuai waktu pendakian dengan diiringi pengetahuan dan keterampilan minimum plus jangan pernah menyepelekan masukan dari warga lokal, khususnya orang yang dipercaya memiliki pengetahuan lebih atas kawasan tersebut.      



    

0 Response to "PENDAKIAN SOLO, kenapa harus dilakukan?"