PARPOL DAN ORNOP

3 comments
sejak revormasi bergulir, birahi untuk membuat partai politik (parpol) tidak dapat dibendung. Puluhan parpol bermunculan bak jamur dimusim hujan. Kran kebebasan yang terbuka, seolah membanjir ke seluruh negeri. Parpol sebagai media menyalurkan aspirasi, sebagai alat perjuangan atau banyak lagi jargon2 tercipta. Tapi yang jelas ada satu kesamaan... merebut kekuasaan. karena lewat berkuasa, apa yang dicita2kan lebih mudah terwujud.

Buat para aktifis Ornop, melakukan perubahan negeri yang carut marut adalah sebuah puncak dari cita2. Kemiskinan yang disaksikan sejak tubuh tersadar dari tidur membuat geram selama hidupnya. Korupsi yang tidak tersentuh hukum, Perusak lingkungan yang lagi2 dibebaskan pengadilan karena tidak terbukti atau pelanggar HAM yang justru bertahan sebagai pejabat. Sungguh muak menyaksikan ketidak adilan yang bertengger angkuh tak terusik. Dengan menguasai pemerintahan atau legislatif, kondisi ini akan berubah. Penjahat negera sesungguhnya negara tentu akan memenuhi sel2 pengap yang selama ini hanya diperuntukan para penjahat kacangan. Rakyat2 frustasi yang mengadaikan nasibnya dengan tindakan kriminal untuk mempertahankan hidup. Para petani yang tidak lagi bertani karena tidak lagi punya lahan garapan.

"bunda relakan darah juang kami, padamu kami berjanji", sebait syair darah juang seolah menjadi spirit untuk mencipta perubahan. rebut kekuasaan untuk merubah keadaan. Itu lah semangat yang mengalir melalui darah2 para aktifis. Analisis situasi pun disusun. para jagoan orasi, jagoan forum2 diskusi, seminar dan rapat sana rapat sini mulai tampil. Langkah pertama, kuasai forum2 dimana mereka telah menjadi jagoan. Ini adalah test case awal ilmu menguasai. Berhasil.. maka kooptasi pun mulai berkembang ke lain2nya. organisasi rakyat, organisasi mahasiswa, organisasi non pemerintah atau lainnya sampai akhirnya dapat mempengaruhi, kalau bisa 220 juta jiwa penduduk negeri seribu bencana ini.

Ornop, konon terlahir di bumi Indonesia karena gak ada saluran untuk menyampaikan aspirasi rakyat. Partai dipaksa cukup 3 saja. yang 2 cuma sebagai simbol untuk mengelabui demokrasi bohongan. Pemilu yang katanya LUBER (langsung umum bebas dan rahasia) pun hanya akal2an. Rapat paripurna DPR yang memilih presiden saat itu ya cuma simbolis. karena pilihannya ya tetep babeh Harto. Nah, kalau wakilnya, bisa gonta ganti, presiden tetep satu. Makanya, di Indonesia, sejak Mbah Harto masih jadi presiden, ya kongkritnya gak ada pemilihan presiden. Yang ada adalah pemilihan wakil presiden.

Karena kran yang tertutup dalam bidang politik, maka diciptakanlah kelompok2 masyarakat. Kebebasan berkumpul dan bersyarikat yang dijamin negar, hanya ada di pasal UUD 45. prakteknya, mohon maaf, tidak ada. Isu paling sangar dan jangan sampe muncul ya politik. Dengan tekat menjaga stabilitas, maka semua yang akan mengarah pada instabilitas, pasti di tumpas.

Kegerahan2 yang tidak tertahankan itu lah yang memunculkan berbagai siasat. Mencerdaskan rakyat untuk tahu hak2nya disiasati dengan berbagai bentuk kegitan. Training berbungkus community development, atau bahkan pelatihan membuat pupuk organik. Organisasi pun disamarkan menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM. Kegiatan pengorganisasian rakyat dikemas menjadi pendampingan masyarakat. Banyak istilah beruhah agar tidak dibubarkan ditengah jalan. Sedikit berhasil, dengan bukti berbagai proses pencerdasan untuk menumbukan critical mass terjadi di banyak tempat. Geliat massa pada Mei 1998 yang berakhir pada peralihan kekuasaan adalah bukti dari kerja2 pencerdasan bangsa ini. selain memang udah saatnya juga sih.. yang konon, karena Amerika udah gak pro lagi sama Mbah Harto.

Di era tanpa batas, dimana semua orang bisa protes, bisa demo, bisa menemui pejabat2 negara dengan lebih mudah.. ktitik keras warga atau organisasi sudah bukan barang aneh. Semua orang bisa melakukan. Bahkan paranormal yang biasanya nempel dibalik penguasa pun dengan enteng bisa mengkritik (bahkan menghina) pejabat negara tanpa harus takut di tangkep polisi atau dikarungin Kopasusus. Bahkan muncul kecenderungan, rakyat butuh suasana kondusif seperti jamannya mbah harto. gak ada demo (karena emang bikin macet jalan), harga2 kebutuhan pokok gak mencekik leher, harga BBM gak selangit atau listrik dan air bersih yang sering mati tapi bayaran terus naek.

Para aktifis yang dulu membungkus gerakan politiknya melalui kerja-kerja bersama msayarakat pun mulai bangkit. Cekalanya, kebangkitan mereka kalah cepat dengan aktifis yang biasa mangkal diforum2 pertemuan. Aktifis yang gak pernah merasakan makan tiwul bersama rakyat. aktifis yang gak pernah tahu cara mencangkul, mengusung 25 kg pupuk urea atau aktifis yang kena malaria karena lebih banyak tidur dikampung2 terpencil.

Mengkerangkakan pengalaman dan kondisi riil dilapangan menjadi sebuah konsep gak mudah. jangankan mengkerangkakan, menulis laporan situasi atau laporan perjanan pun, para aktifis "kampung" kadang gak mampu. sekalipun mampu, penyakit malasnya melebih yang lain. Mereka cukup menjelaskan secara oral.. apa yang direncanakan, dilakukan dan apa yang akan dilakukan dan dibutuhkan. Semua adalah fakta kondisi objektif dilapangan. termasuk kebutuhan akan partai politik bagi gerakan rakyat.

Politik adalah persoalan merebut kekuasaan. Pilihannya adalah; Menang atau Kalah. Untuk itu, jangan heran jika fakta2 yang ada dilapangan dianulir karena tidak sesuai dengan keinginan. Kalau rakyat tidak menghendaki partai sbg gerakan untuk perubahan, maka akan muncul cap bagi di komunitas sebagai komunitas yang belum kritis. masyarakat yang belum maju pikirannya. Untuk itu, butuh di buat training, peningkatan pengetahuan atau segenap alat untuk menjadikan mereka setuju, jika parpol adalah alat yang paling efegtif dalam mendorong perubahan.

Untuk membangun dan pengembangkan parpol, dibutuhkan sumberdaya yang luar biasa. Paling tidak, harus ada kantor perwakilan di sekian Propinsi, sekian Kabupaten/Kota dan sekian persen ditingkat kecamatan. Untuk menjalankan operasional kantor2 perwakilan tersebut, dibutuhkan berapa banyak sumberdaya? Nah jika itu tidak dapat dipenuhi, lalu akan diambilkan dari mana?
dari anggota dong.. dari rakyat dong.. atau dari siapa? dari anggota, siapa anggotanya? dari rakyat, kalau rakyat setuju,kalau enggak? syukur kalau cuma setuju atau tidak setuju... kalau rakyat meninggalkan karena kita dianggap hanya memanfaatkan mereka?

Organisasi non pemerintah harus sangat hati2 dengan godaan ini. Melakukan perubahan melalui partai politik. Godaan terberat adalah kompromi politik yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari dunia politik. Godaan lain adalah, sogokan atau komitmen dengan pemilik sumberdaya (dana) saat ajang perebutan kekuasaan berlangsung. Godaan lain, apalagi kalau berbagai godaan dunia... harta.

Sudah tidak percayakan para aktifis dengan gerakan rakyat secara riil. Apakah pilihan parpol sebagai alat perjuangan sebagai bentuk ketidak sabaran terhadap proses. Atau hanya sebagai alat tunggangan untuk mencapai cita2 pribadi. menggapai kekuasaan. atau bisa jadi merupakan bentuk frustasi ketidak mampuan mengorganisir dan membuat cerdas rakyat?

Yang pasti, risiko terlalu besar bagi sebuah organisasi non pemerintah yang telah eksis untuk bermain2 dengan dunia hiruk pikuk politik. Contoh sukses negara2 lain dng partai hijau atau analisis2 dangkal para aktifis forum, seminar, training2 perlu dihadapkan dng fakta sesungguhnya. Satu pertanyaan... APAKAH MEMANG AKTIFIS SUDAH TIDAK LAGI PERCAYA DENGAN PEOPLE POWER??? people power yang tercipta dari keseriusan para aktifis membangun daya kritis atas hak2 sebagai warga negara....

LELAH OTAK...

3 comments
sebel.. jengkel atau gondok (entah apalagi kata2 yang tepat) ketika kita gak lagi bisa mikir. apalagi kalau lagi dikejar deal line. "harus selesai besok.."
Kondisi ini pasti pernah dialami banyak orang. atau mungkin setiap orang waras pernah merasakan ini? may be...


Nah.. inilah yang aku rasain sekarang. Jangan tanya apa sebabnya. karena kadang, kondisi ini datang tiba2. sebagai orang yang mempelari kejiwaan manusia, ya aku gak pernah tahu.. why, the feel coming? yang jelas, asli.. kondisi ini bikin sebel dan terasa sangat mengganggu. kondisi ini bikin emosi gak stabil. pengennya marah melulu.

Dan yang nyebelin lagi... kondisi ini kok berhubungan dengan pencernaan juga. Laper melulu.. he.. he...
sebabnya kenapa? mungkin banyak sebab. Bisa karena suasana yang gak menyenangkan. bisa juga karena beban kerjaan yang over load atau ada sesuatu yang dipikirin dan belum ketemu jawabannya. Kayaknya sih buanyak. mungkin kalau kita konsultasi sama pskiater, akan ketahuan apa2 saja nya.

Tapi kalau dampaknya, banyak juga. Dan kalau gak mampu di manage, berbahaya juga. misalnya emosi yang gak stabil, bisa nyebabin perang teluk (mungkin, waktu bush nyerang irak juga pas lagi stak juga kali yaaa). selain emosi jadi gak stabil, juga jadi gak produktif. Nongkrong di depan komputer, tapi gak ngerjain apa2. dan gak bisa juga diajak mikir.. kacau betul kan???
masalah semakin berat kalau kebetulan saat itu dead line dari kerjaan kita. Nah loh.. ini bisa jadi disaster betulan..

what can be done?
Cari suasa baru. suasana itu gak harus jauh atau tempat yang mahal. cukup cari udara terbuka, yang banyak pepohonan. ideal lagi kalau ada kolam ikan, (kayak di kantor WALHI, he.. he..) dan tarik nafas dalam2. Hembuskan perlan2. ulang berulang2 sampe terasa sedikit nyaman. Coba jalan beberapa meter, 100 meter lumayan lah sambil membuka pandangan secara bebas. liat anak kecil yang lagi maen misalnya atau orang yang sedang bekerja. usahakan seluruh badan dibuat rilek.

Jangan langsung duduk lagi di depan komputer atau langsung mengerjakan kerjaan dulu dong. Ngobrol2 ringan sama teman. bisa tentang film, music atau hobby lama kita. Indah lagi kalau sambil denger musik yang lembut. dire strait asyik juga tuh...
5 - 10 menit cukup lah.

Setelah itu, segera kembali ke pekerjaan kita. kalau lagi bikin laporan, ya mulai lagi dibikin. kalau lagi buka mesin mobil ya terusin. Apakah ada perubahan? apakah pikiran kita sudah bisa diajak kompromi untuk bekerja kembali.
Belom???? ulangi lagi... keluar, cari suasa yang lain selain tempat kerja kita.. dst
Kembali lagi...???

Nah, kalau belom juga.. alias kita masih stak, gak bisa mikir.. sebaiknya kita segera mengagendakan waktu untuk pergi ke psykolog. karena kita sudah masuk pada taraf yang gawat... karena kita sudah mendekati gila..
Benarkah????
Gak juga..
sebenarnya, yang kita butuhkan adalah relax. keluar dari rutinitas. Tidur mungkin akan sangat membantu. Atau berkencan... he.. he..
tapi untuk yang terakhir, kadang masalah memuculkan masalah baru tuh...

Lelah Otak... istirahatlah kawan.. karena, pekerjaan gak akan pernah selesai.. sampai dunia ini berhenti berputar. Jangan merasa, bahwa kalau tidak kita kerjakan, dunia ini akan berhenti berputar.. ok

MENULIS ITU GAMPANG...

3 comments
"Sulit tahu"... itu pasti. Komentar tsb akan keluar dari buanyak manusia yang tinggal di jagat ini. Tapi bagi segelintir orang.. mmm... cing cay banget.
Emang iya sih.. Gampang ketika udah biasa. apalagi jadi kerjaannya sehari2. Wartawan misalnya. Atau para penulis buku, cerpenis,novelis dll...tapi jangan tanya suka atau tidak suka dari buah karyanya. Karena jadinya relatif. Ada yang suka gaya tulisan Pram. Ada juga bergaya Hilman atau lainnya. Apalagi dikaitkan dengan topik yang ditulis... Hanya sedikit dari secuil yang bisa masuk ke siapa pun.

Buanyak sudah buku diterbitkan untuk ngasih tahu cara menulis. Bahkan sejak SD, kita udah diajarkan bagaimana caranya membuat tulisan. paling enggak, Guru Bahasa Indonesia kita kerap kasih tugas kita. Menulis pengalaman setelah libur panjang. Kalau diinget2, kerap deh kita memulainya dengan : "pada suatu hari... bla.. bla...". juarang banget ada yang memulai dengan : "Brak..!!!" pintu rumah tertutup dengan keras. Hujan dengan disertai angin besar membuat bulu kudukku berdiri. Rencana berlibur ke rumah nenek pun batal, titik. karena memang tidak ada liburan ke rumah nenek, ya gak ada cerita... he..he..

Sudah pasti, si guru pun akan memberi nilai kita 6 ke bawah. sedangkan yang memulai dengan "pada suatu hari"... bla.. bla... mendapatkan nilai 6 ke atas. Kalau si guru merasa nyaman dengan tulisan yang di buat, bisa jadi dpt 10 - 1. Ajaibnya, tidak ada pembahasan lanjutan. bagaimana sih membuat tulisan yang baik. Ya, cukup nilai saja. selebihnya, diserahkan kepada si murid sendiri untuk menilai. kalau dpt 9 berarti bisa bersombong diri, kalau tulisannya ok. mungkin sudah layak masuk majalah BOBO atau KUNCUNG.

Tentu gak semua guru berprilaku seperti itu. Banyak guru yang kreatif, inovatif dan berani juga. berani menerobos budaya belajar mengajar. sekalipun risiko sering di tegur kepala sekolah. atau bahkan.. kepala diknas.
Pertanyaan kadang muncul dikepala ini tentang pelajaran menulis. Apakah si guru betul mempunyai kapasitas untuk menulis? atau paling tidak, paham tentang teori menulis? entah lah.. hanya Tuhan dan si guru yang tahu. Yang jelas, Guru gak boleh gak tahu. karena gak tahu sama dengan bodoh. so, kalau emang gak tahu, paling enggak harus menyembunyikan ketidak tahuannya. ya, pura2 tahu aja lah...

Tulis aja semua yang ada di kepala. jangan membaca ulang sebelum selesai. tulis.. tulis dan tulis. setelah selasai, baru baca ulang. mana yang perlu di edit bahasanya. mana yang harus dihapus atau diganti kata2nya. Pernyataan seperti itu umum terdengar saat kita bertanya sama orang biasa nulis. Atau, pelajari dulu apa yang mau ditulis. Kumpulkan data2 yang butuhkan. tentukan topik apa yang akan ditulis. Let's start. Ada juga yang bilang; tergantung tujuannya, untuk apa tulisan dibuat? Tapi hampir semua bersepakat, kalau judul tulisan itu terakhir dibuatnya. Menyesuaikan dengan isi tulisan.

Nah untuk alasan yang terakhir, ini kontradiski dengan proses sekolah yang kita lalui. Skripsi misalnya, yang pertama kali dibuat adalah judulnya. setelah ok, dilanjutkan dengan membuat kerangka berpikir, latar belakang, metode dll. Apakah ini berarti, teori tentang "menulis itu gampang" itu gak tepat? menentukan topik, menentukan tujuan, atau ngawur aja. tulis semua yang ada di kepala?

Memulai dari tujuan. bagaimana kalau tujuannya adalah mendapatkan imbalan. misalnya menulis opini di koran. Ya, gak masalah. penulis tentu akan melihat trend issue yang berkembang. Mencermati moment atau kalau berani.. menciptakan moment, memuculkan issue dll. Karena ini sudah masuk pada jalur bisnis, tidak semua bisa melakukan dengan sukses. Untuk media besar kayak kompas, tempo, gatra atau media Indonesia.. kayaknya sulit banget. teramat sulit jika gak punya nama besar. apalagi.. mohon maaf, mahasiswa. wah.. gak bener itu, buktinya, cukup banyak lo mahasiswa yang tulisannya masuk ke kompas, gatra, media indonesia atau koran - majalah nasional. ini kaitan dengan kualitas men.. tapi, apapun tujuannya, ini sangat membantu untuk mendapatkan fokus dan format tulisan.

Topik apa yang ingin di tulis? Ini tentu lebih mudah menjawabnya. sesuai dengan kapasitas atau kesukaan/hobby. Benarkah lebih mudah? masih ada prasyarat lagi lo. pelajari dan kumpulkan data2 yang dibutuhkan. Ini gak hanya untuk pilihan ini. yang didahului dengan tujuan pun harus mempelajari dan mengumpulkan data2. kayaknya ini bersifat baku untuk mewarnai dan meningkatkan kualitas tulisan.

Tulis apa yang ada dikepala. Ini yang agak repot. tapi, ini yang paling banyak terjadi lo. Ide bisa muncul kapan pun. dan kalau tidak di tulis, sayang sekali. Kadang ini muncul saat kita nongkrong di WC. bisa juga mampir saat pacaran. atau saat nunggu temen yang janjian di suatu tempat, dan molor. bisa datang kapan pun lah..
karena itu, buat seorang penulis, alat tulis entah itu bulpoint atau pinsil serta note book selalu di bawa. begitu "cling", langsung ditulis di buku yang telah disiapkan. Bahkan ada yang membuat semacam perpus mini di toilet lengkap dengan buku dan alat tulis.
Apa hubungannya dengan, tulis apa yang ada dikepala? Hubungannya, ya baik2 saja lah. kalau mau dihubungkan, pasti mesra hubungannya. kalau males.. ya, bisa gak ada hubungannya sama sekali.

Ada yang bilang repot. karena tulisan jadi kemana2. Gak fokus. really. kalau buat amatiran kayak aku ini, yang lagi belajar nulis. sooo pasti dong.. apalagi kurang baca buku, malas baca koran, malas pula nonton berita di TV dan denger berita di radio. tentu yang akan muncul adalah full asumsi. bener atau salah.. ya gak jelas.

Tentukan tujuan, lalu topik. Buat kerangka tulisan atau outline. Katanya itu tahapan untuk memulai menulis. Tujuan? tujuan dikaitkan dengan substansi tulisan, bukan untuk dpt fee. Buat apa sih kita buat tulisan? Untuk kampanye, untuk transformasi informasi, untuk.. apalagi ya..??? kalau begitu, bukankah yang pertama adalah menentukan topik?
Pada prakteknya, gak begitu penting, mana yang duluan. karena semua teori tersebut bisa dipraktekan bersamaan. Yang terpenting adalah, kebernian untuk memulai. Mulai menulis, membaca, memperbaiki. terbuka terhadap komentar orang lain atas tulisan kita. Gak usah khawatir atas penilaian orang, apalagi dengan suka atau tidak suka. karena toh tidak semua orang menyukai tulisan Goenawan Muhammad, padahal dia adalah sang pendekar. tidak ada yang bisa memaksa orang suka karya2nya Chairil Anwar atau Any Arraw.. tul kan???? betul dong..

Loh, kok tulisan nya gak nyambung dengan judulnya sih??? Harap maklum kawan, karena saya masih belajar nulis. Untuk itu, saya minta tolong komentari tulisan saya yang ada. dan saya akan sangat berterima kasih sekali untuk itu...
Sugeng dalu..!!!

TOPIK PENGELOLAAN RISIKO BENCANA.. "pindahan..."

0 comments
sejak detik ini.. buah pikiran, saduran, makalah2 ataupun cerita2 tentang pengembangan pengelolaan bencana menempati tempat khusus.. di blog pengelolaan risiko bencana. click aja

http://pbom-walhi.blogspot.com/

sedangkan sofyan-eyanks.blogspot.com untuk laen2 ajah..

terimakasih....

eyanks

SURAT UNTUK KAMPUNG HALAMAN-mengelola risiko bencana IV

0 comments
ini adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya, mengelola risiko bencana. Buah karya Tantang berkutat menuangkan seluruh pikirannya dalam sebuah surat. Surat untuk kampung halamannya tercinta. Surat yang dikirimkan melalui sang Ayah tersayang..


Untuk Ayah dan seluruh saudaraku
di Kampung Dodol

Salam Rindu beriring doa..
Ayah, bagaimana kabar ayah dan keluarga semua. Juga saudara2 yang lain. Aku berharap, semua dalam lindungan Tuhan dan selalu diberikan keselamatan. Amiin..

Ayah, 1,5 tahun yang lalu aku pulang kampung. Aku menyaksikan hutan di selatan dan timur kampung kita sudah mulai habis. Kita semua tahu, siapa saja yang melakukannya. Tidak terkecuali saudara2 kita. Aku tidak seluruhnya menyalahkan mereka karena kita sama2 tahu bagaimana kehidupan mereka yang kurang beruntung. Namun begitu, bukan berarti aku setuju.

Ayah, surat ini tidak hanya untuk ayah. tapi aku tujukan untuk seluruh warga Kampung Dodol. Ini berkaitan juga dengan hutan2 kita di Utara dan selatan juga. Aku cemas.. cemas sekali. Karena kita tahu bersama, dan ayah pun pernah menyampaikan ini ke kita semua. Perusakan hutan akan menciptkan bala. Aku baru paham ayah, apa bala tersebut. Di Jawa, banyak terjadi bencana. Banjir dan longsor maupun banjir bandang. Kalau saya saksikan, kampung-kampung yang terkena bencana mirip dengan kampung kita. Ada sungai yang berhulu di hutan pada pegunungan. Jenis tanahnya pun sama. Rumah banyak berdiri tidak jauh dari sungai. Saat musim hujan, banyak mata air dadakan di atas kampung kita.

Ayah, kata orang2 pintar di Jawa, itu adalah tanda-tanda kalau bencana banjir bandang, atau longsor atau cuma banjir mengancam kampung kita. Kita harus waspada. Kita harus mencegahnya secara bersama-sama sebelum bala itu datang. Bisakah ayah mengajak saudara2 kita semua untuk melihat2 ke daerah hulu kondisi hutan kita.
Oh ya, banjir bandang seperti yang sudah2, terjadi karena tersumbatnya jalur air di atas gunung sehingga membentuk danau. Jika sumbatan itu jebol, maka akan menjadi penyebab banjir bandang. sumbatan dapat berupa pohon2 yang rubuh, tanah, batu2an yang mengumpul di jalur air tersebut. dan jalur air tersebut tidak harus sungai.

Ayah, aku sangat cemas memikirkan itu. ingin sekali aku pulang kampung untuk bersama2 melihat kemungkinan2 itu. Ini masalah keselamatan kita bersama. Saya tidak ingin kejadian yang terjadi di Aceh Tenggara, Bahorok, Pacet, Jember, Sinjai terjadi di kampung kita. Menimbulkan duka, mencerai beraikan keluarga besar kita. Menciptakan kesengsaraan karena harta benda kita musnah oleh bencana. Aku sangat berharap, hutan kita tidak lagi di ganggu.

Aku sangat percaya ayah dan saudara2ku dikampung bisa melakukan itu semua. Oh ya, ayah pun bisa menemui kepala desa atau kecamatan untuk masalah ini. Aku yakin mereka akan mau bersama2 kita mengantisipasi bala yang bisa terjadi kapan pun itu. Mereka pasti bisa mencarikan orang2 pintar untuk bersama2 kita mengantisipasi bala tersebut.

sembah takjim anakmu


Tatang

MENGELOLA RISIKO BENCANA III

0 comments
Tatang pun menulis sepucuk surat kepada orang tuanya.. yang hanya seorang petani. Petani yang lahannya mulai menyempit karena terpaksa harus dijual atau digadaikan untuk membiayai dia sekolah. Sudah bergulung2 kertas menghiasi kamar kosnya yang sempit. selesai menulis, dibaca... terlalu sulit di pahami, diulang lagi dengan kertas yang baru.. Jam weker pun telah menunjukan angka 3.45 wib. "gila", gerundelnya dalam hati... begitu sulitnya menjelaskan apa yang ada di kepala melalui tulisan. Seandainya.. kembali lamunan dia menembus batas2 normalitas. bisa terbang, menjadi orang kaya atau semua yang memungkinkan dia bisa bertemu langsung dengan orang tuanya, saudara2nya di kampung nun jauh di mato..

SULIT... Pasti dong... Selalu ada kendala untuk memulai sesuatu. Sama halnya anak kambing yang jatuh bangun disaat belajar berjalan, beberapa saat setelah keluar dari rahim sang induk. Tidak berbeda saat kita belajar membaca, menghitung atau membuat teh manis pertama kali. Proses dan cara.. Dibutuhkan informasi untuk mengerjakan sesuatu. tapi secara alamiah pun, semua memiliki pola adaptasi. ya seperti anak kambing itu contohnya. atau.... tanaman yang kita paksa masuk ke dalam pot...

Informasi dan cara.. itu penting. Lalu, bagaimana bisa mentranformasikan informasi dan cara tersebut tanpa kehadiran fisik? faktanya, terlalu besar gep antara yang paham luar dalam CBDRM dengan jumlah penduduk sangat besar. 220 juta penduduk indonesia, jika yang tahu cuma 10 % saja, udah kesulitan. Apalagi kalau disandingkan juga dengan keberadaan penduduk yang menyebar dan minim fasilitas. Terpencil di kaki gunung, di pulau2 kecil atau dibelantara hutan. Sementara, kerawanan kawasan yang tinggi di Republik Bencana ini adalah fakta adanya.

Menjelang subuh, senyum tatang mengembang. "Hah", nafas dia pun menghembus deras membuang beban yang menyelimuti pikirannya. dari beratus2 kata, berlembar2 kertas yang gagal.. ditemukan sebuah kata yang singkat dan menurut pikirannya mudah dipahami sang ayah. Intinya adalah meminta ayahnya untuk waspada atas kemungkinan datangnya bencana. meminta ayahnya mencari tahu tentang sumber2 ancaman, bertanya tentang kejadian yang mungkin pernah terjadi dan meminta ayahnya mencari tahu ke pemerintah setempat. (surat tatang kepada ayahnya... akan ditambilkan dalam Mengelola risiko bencana IV)

Tatang mampu menyelesaikan surat melalui proses alamiah. Menulis, membaca ulang, berpikir, menuliskan lagi, baca ulang, analisis.. dan akhirnya menemukan apa yang diharapkannya. Dan surat yang dikirimkan kepada ayahnya, adalah sebuah cara untuk memulai mengelola risiko bencana berbasis masayarakat. Namun, bukan berarti tidak ada lagi masalah dalam proses pelaksanaannya. Belum tentu sang ayah percaya. Sekalipun percaya, belum tentu dijalankan dengan berbagai alasan. Sibuk, sungkan bertemua dengan borokrat atau.. bukan ditempatkan bukan prioritas..

Ketika Ayah Tatang, mulai melakukan apa yang disampaikan tatang. Mulai memetakan sumber2 ancaman, menemui birokrat desa, berdiskusi dengan tetangga... belum tentu juga ada respon positif dan segera ditindak lanjuti. Nah, disini... dibutuhkan kesabaran, keuletan, dan keberanian untuk terus bergerak. Bukan hanya bergerak2 saja. Tapi bergerak maju dan berkembang.

Namun hal yang menjadi catatan adalah...
Semua orang bisa memulai mengelola resiko bencana. Melakukan berbagai upaya untuk mengurangi (mereduksi) risiko dan dampak dari sebuah kejadian sehingga tidak menjadi bencana. Tidak harus dengan tangannya sendiri, tapi berbagi peran, berbagi kerja untuk mencapai sebuah tujuan bersama.
Mengelola bencana bukan dimulai setelah bencana itu terjadi.. Mengelola bencana harus sudah dimulai jauuuuuh sebelum sebuah kejadian dapat menjadi bencana.

he... he... bersambung lagi ya.... ke bagian IV

MENGELOLA RISIKO BENCANA II

0 comments
ini bagian II dari sebelumnya...

Tatang begitu gelisah setelah mengetahui kampungnya sangat terancam bencana. sekalipun seumur hidupnya tidak pernah merasakan kejadian banjir bandang, longsor atau bajir genangan..
informasi yang didapat dari obrolan ringan saat makan siang dengan orang yang baru di kenal terasa begitu dalam. Tidak lebih dari 5 menit. perkenalan yang kebetulan itu, berkenaan dengan sebuah peringatan atas ancaman benjir, longsor dan banjir bandang saat musim penguhujan tiba.

Tatang memutar ingatannya atas kampungnya nun jauh di luar jawa. Hutan, tebing dan bebukitan, dan sungai yang memisahkan kampungnnya dengan kampung sebelah. Hutan yang mulai botak di rambah, sungai yang mulai keruh, tebing2 itu.. akhh.... Gundah. sangat gundah. kondisi ini dilihat 1,5 tahun yang lalu ketika dia pulang kampung. bagaimana dengan sekarang. sadarkan warga masyarakat disana, yang juga saudara2nya akan ancaman tersebut? sudahkah pemerintah desa, kecamatan, kabupaten atau propinsi memberi tahu akan ancaman tersebut? warga masyarakat harus berbuat apa?
Ingin rasanya dia memiliki 2 sayap seperti burung. yang bisa mengantarkan dia menembus awan dan tiba di kampungnya. Melihat dari atas, bagaimana kondisi hutan dan kawasan disekitar kampungnnya....

Menyadari tentang ancaman, kapasitas dan kerentanan adalah modal dasar untuk memulai mengelola risiko dan dampak bencana. modal untuk bagaimana melakukan berbagai upaya preventif, mitigasi dan membangun kesiapsiagaan. Tatang sangat paham, rumah per rumah di kampungnnya. dia juga paham secara detil jalan-jalan yang ada. tahu aliran sungai berhulu dimana. demikian juga orang2 kampung disana. siapa yang berusia lanjut, sedang hamil, mempunyai balita atau orang2 yang masih kuat.

Jika kesadaran atas potensi ancaman tersebut disadari warga, maka yang kemudian dilakukan adalah mulai mencari tahu : seberapa besar bahaya tersebut mengancam kampung tersebut. siapa saja yang berisiko tinggi. bagaimana cara penyelamatkan jika bencana betul terjadi. Mengungsi, akan mengungsi ke mana? bagaimana kemungkinan kondisi tempat pengungsian? siapa yang akan menyediakan tempat berlindung, makanan, air bersih, menolong dan merawat yang terluka dll. Lalu, apakah bahaya tersebut bisa dihilangkan, atau paling tidak diperkecil dampaknya?

Ya, memulai mengelola risiko bencana berbasis masyarakat dapat dimulai lewat melihat secara seksama, sumber2 ancaman? berefleksi, tentang kemampuan dan ketidak mampuan. Melakukan pemetaan kawasan rawan dan warga yang rentan. Berdiskusi antar warga untuk saling memberikan informasi dan mencermati perubahan dan kecenderungan yang terjadi selama kurun waktu tertentu. Jika betul terjadi, apa yang bisa dilakukan. Mumpung belum terjadi, apa yang seharusnya dilakukan..

Kerja2 itu bisa dilakukan tidak harus seperti para peneliti dari kampus atau lembaga penelitian. Memetakan kawasan rawan, bisa dilakukan saat warga mandi di sungai. saat ronda, atau ngobrol2 malam. Meraka adalah penduduk kampung, pasti mengetahui secara persis, jengkal demi jengkal daerahnya. dari peta yang tidak perlu menggunakan skala, warga bisa melihat.. siapa saja yang paling berisiko jika terjadi bencana. bagaimana kondisi warga tersebut. semakin berisiko ketika mereka tidak menyadari akan ancaman yang ada. memiliki balita, manula atau wanita hamil. risiko semakin tinggi ketika rumahnya terpisah dari rumah2 yang lain dengan kondisi jalan yang buruk. risiko semakin meningkat lagi ketika mereka tergolong miskin.
tentu tidak hanya manusia yang dipetakan, tapi juga lahan pertanian, jalan, fasilitas publik, sumber-sumber air bersih, sarana transportasi, komunikasi dll.

Menyadari sumber ancaman tidak mungkin diperkecil potensinya menggunakan tenaga lokal, membangun jaringan dengan pihak luar adalah solusi terbaik. tidak harus langsung dengan ahlinya. karena orang yang kita kenal dapat menghubungkan kembali dengan orang yang mungkin punya kenalan seorang ahli. selain itu, tentu mendorong pemerintah untuk berperan aktif adalah yang utama. Mereka lah yang diberi mandat untuk mensejahterakan rakyat. Tanggung jawab mereka menjadikan rakyat dapat hidup bermartabat. Oleh karenanya, mereka mendapatkan berbagai fasilitas dari Negara, sampai akhir hayat keluarganya.

Begitulah praktek mengelola risiko bencana... apakah terlihat sulit? apakah harus para akademisi dengan segenap gelar, para aktifis ornop yang telah malang melintang di dunia persilatan saja yang bisa melakukan. atau instansi pemerintah khusus penanggulangan bencana yang bisa melakukan?
Ya gak lah... la kenyataannya, mengelola risiko bencana itu gampang.. asal ada kemauan untuk melindungi dan menyelamatkan diri dan keluarganya dengan sungguh2. Memulai dari manapun bisa. Dari menyetarakan pemahaman, menganisis sumber ancaman, memetakan ancaman, kapasitas dan kerentanan, memetakan kawasan2 rawan atau mencari teman (pengembangan jaringan) dan mendesak pemerintah setempat untuk memfasilitasi pengelolaan risiko bencana.

mmmm.... aku lagi bosan nulis.. bersambung lagi aja ya... ke bagian 3

PENGELOLA RISIKO BENCANA (bagian I)

0 comments
Paska tsunami, ngelmu tentang pengelolaan risiko bencana atau kerennya disaster risk management begicu populer. padahal, 1 tahun sebelumnya, jauh tahun sebelumnya.. pengetahuan itu jadi isu pinggiran. cuma beberapa lembaga aja yang gak begitu peduli, terus mengembangkan. ada yang dengan pendekatan karitatif ada juga yang katanya pemberdayaan.

kalau liat perkembangan paradigma pengelolaan risiko bencana, memang terjadi pengembangan yang pasti. emergency, trus ke relief, mitigasi dan kesiapsiagaan dan sekarang yang lagi nge-pop "pengurangan risiko". pengelolaan bencana yang dikenalkan di awal pun disisipin kata "risiko". karena bencana itu sendiri konon mustahil di tolak, katanya. so, yang diminimalisasi adalah risiko dan dampaknya. begitu para ahli disaster risk management (DRM) bilang.

tapi kalau liat dari definisi yang intinya : "bencana adalah sebuah kejadian yang menyebabkan ketergangguan sistem kehidupan di masyarakat, menyebabkan kerugian jiwa dan harta serta aset-aset kehidupan serta masyarakat terkena dampak tidak mampu mengatasi sendiri dengan sumberdaya yang dimilikinya", harusnya kan konsisten ya. artinya, bencana itu, selain sangat bisa di reduksi... ya bisa juga di tolak atau dihilangkan sama sekali. Yang gak bisa, pemicunya, kejadian yang disebut bahaya.
Merapi misalnya, yang gak bisa dicegah itu erupsinya kan. piroklastik yang keluar dari kepundannya ke sekitar jangkauannya. Nah, kalau kejadian itu gak menyebabkan keterganggunan sistem kehidupan, gak ada korban jiwa atau harta.. gak disebut bencana kan? demikian juga dengan tsunami, gempa, banjir, longsor dll.

Tapi sudah lah... karena kita ini memang paling hobi memperdebatkan makna dari kata2. pengelolaan dengan penanggulangan dan penanganan bencana misalnya. itu bisa tujuh hari tujuh malam diperdebatkan, dan bisa tanpa hasil. artinya akan dikembalikan ke masing2 orang yang memberdebatkannya. Nah, celakanya dengan model kayak gini, yang berpeluang untuk memasukan itu sebagai pengertian umum, definisi atau apalah.. orang2 yang punya kekuasaan mengambil kebijakan atau orang yang deket dengan kekuatasaan. atau... orang yang punya tambahan gelar di depan dan dibelakang namanya. sekalipun.. gak umum atau bahkan salah. Ini Indonesia bung... gak usah heran (grundelan orang2 frustasi)

Kalau melihat praktek pengelolaan atau penanggulangan risiko bencana, kayaknya kok sulit banget. butuh ini dan itu. persiapan macam2. harus ada pakar dibeberapa bidang (lagi2, kalau perlu yang gelarnya puanjaaang), harus ada riset ini lah dan pra syarat lainnya.. dan yang mutlak : DANA YANG CUKUP. Kalau gak ada, ya gak bisa. karena gimana ya, untuk mendatangkan pakar, perlu transport yang memadai dan fee sebagai pakar yang juga harus sesuai. butuh tempat yang ok agar traning bisa efektif di jalankan. buat modul.. itu juga butuh du-it. lokasi juga harus betul2 disiapin. masyarakatnya harus dikondisikan de el el....
pokoknya, susah lah. jangan kan orang kampung yang kerap dilecehkan karena hanya berpendidikan formal gak tamat SD, kayaknya mahasiswa atau yang udah lulus sekolah perguruan tinggi pun gak mungkin jalanin deh. di jamin...
karena, selain mahal.. DRM juga harus ditangani ahlinya. jadi mohon maaf abang becak, abang sopir angkot, ojek, bajaj, bemo atau bapak2 petani, harap sabar menunggu giliran para pakar dan donatur yang baik hati melirik desa panjenengan semua untuk menjadikan sebagai pilot project pengelolaan risiko bencana. tapi lumayan asyik juga kalau kemurangan dan keberuntungan itu datang. selain kita akan dapet tambahan pendapatan dengan mengikuti pertemuan2, diskusi, training dll, kita juga akan dpt pengetahuan tentang bagaimana mengelola risiko bencana dari para pakar...

Benarkah.. mengelola risiko bencana itu susah? kalau susah, gimana dong dengan 93 % kawasan indonesia yang rawan bencana. gimana juga dengan 98 % warga negara dari 220 juta (dikurangi 200 rebu yang meninggal di aceh, 7000 ribu di jogja-jateng dan yang puluhan sampe ratusan akibat bencana di jember, banjarnegara, sinjai dll) yang rentan. Kalau di bagi rata2 stok pakar disaster risk management yang ada, ampe berapa tahun bisa tertangani?

bersambung ya.. ke bagian II

BANJIR MEMBAWA BERKAH

0 comments
"banjir lagi, banjir lagi... bosen.. gimana sih pemerintah kita nih, gak becus ngurus banjir". umpatan itu pasti akan bertibu2 kali keluar dari mulut2 manusia yang tinggal dikawasan banjir. atau warga yang mau gak mau harus melewati jalan yang berubah jadi danau dadakan. Musim yang oleh sebagian orang dinantikan karena mendatangkan rejeki. menjadi pekerjaan pada kondisi yang sangat sulit mendapatkan peluang kerja. "lumayan mas, kalau banjirnya besar, banyak mobil pada mogok. paling enggak, setiap mobil kasih tip rp. 15.000 - 30.000. padahal, banyak sekali mobil yang terjebak mogok. karena terburu2, nekat nerjang banjir. kalau 10 mobil saja yang mogok, udah bisa makan untuk 1 minggu mas..

ya, setiap keadaan, apapun bentuknya, selalu menjadi peluang atau mendatangkan uang. bencana - longsor yang diperkirakan akan antri di musim penghujan, pun demikian. paling enggak, mie instan dan air mineral akan menaikan produksinya. demikian juga dengan tikar, terpaulin, obat2an, tempat air dan segenap marang untuk bantuan. sektor transportasi dan komunikasipun mendapatkan dampak positif dari kejadian tersebut. hanya itu... ya, enggak. dalam skala kecil, banyaknya tim sar dan pekerja kemanusiaan yang datang ke lokasi, tentu membutuhkan jajanan, rokok, atau makanan instan, kebutuhan itu tentu menjadi peluang bagi warga lokal yang memiliki sedikit modal untuk buka warung. sekala menengah.. bencana pun akan memberi peluang bagi organisasi atau kelompok2 yang bekerja untuk kemanusiaan. Mendapatkan dana dari berbagai donor untuk program kemanusiaan. dan skala besarnya, dana yang ada di negara bisa juga dipake. apalagi kontrol penggunaan dana emergency suangat lemah.

Bencana membawa berkah...
itu adalah realitas bagi sekelompok lain. Lainnya, tetep aja bencana sebagai musibah. Hilang semua aset2 yang dimiliki, bahkan tidak menutup kemungkinan kehilangan bagian keluarga. Hilang pula harapan untuk hidup bermartabat karena penanganan paska bencana yang tidak tuntas dan jelas.
Penanganan paska bencana pun menjadi berkah... dana rekonstruksi bagi warga terkena dampak bencana ramai2 disunat.
Bahkan dana yang masih di kas negara pun bisa diakalin lewat percaloan atau pengalihan budget. ada yang jadi gedung olah raga, rumah legislatif atau bahkan asuransi dan biaya transportasi ke luar negeri.

Indonesia memang negeri ajaib. 98 % komunitas yang rentan gak menjadikan para pengambil kebijakan untuk berpikir menjalankan mandatnya. 93 % daerahnya rawan bencana yang merubah paradigma dalam pembuat kebijakan.
Ya... karena satu tentunya.. bencana yang membawa berkah.
tapi itu gak cuma dikalangan pengambil kebijakan. tapi juga berpianak ke dunia bisnis, ornop, ormas, organisasi keagamaan bahkan warga masyarakat juga. bahkan pada warga yang sebenernya jadi korban bencana.

peluang untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara cepat membutakan hak orang lain. bahkan rela mengorbankan sistem sosial, kekerabatan atau bahkan ikatan persaudaraan. berkolusi dengan para koruptor, para pelaksana proyek sialan... memanipulasi data dan angka. hasil kerja akan menjadi ancaman baru, bukan lagi menjadi pemikiran. lihat aja, rumah2 di aceh dengan kualitas yang sangat buruk. bangunan itu sendiri menjadi ancaman baru bagi kawasan yang terlewati jalur disko bumi.
tapi agaknya menang gak penting. gak penting juga buat penanggungjawab keselamatan warga...
karena bencana yang akan datang... akan membawa berkah kembali...

AGENDA RAKYAT...

0 comments
Begitu mudah orang meng-claim atas nama rakyat. Semua orang memang bisa menyatakan atas nama rakyat. dari mulai pak RT-RW, bisa bilang atas nama warga diwilayahnya. Kepala dusun dan desa pun bisa demikian. Men-claim atas nama masyarakat di wilayah administrasinya. Trus sampai Presiden. Partai politik pun mempunyai justifikasi atas nama massa partai, atau di luar itu. Ustad, ulama, pendeta dan orang2 yang ditokohkan pun punya kuasa. Organisasi-organisasi massa, organisasi komunitas, organsasi profesi sampai organisasi non pemerintah pun tidak ketinggalan. ATAS NAMA RAKYAT...

apa agenda rakyat sesusungguhnya? apakah sudah terserap atau sesuai dengan yang disuarakan yang mengatasnamakan tersebut? ATAS NAMA RAKYAT... MENGUSUNG AGENDA RAKYAT. Bisa iya... bisa juga tidak. Karena makna rakyat itu sendiri memang luas. Rakyat adalah seluruh manusia yang tinggal dan hidup dan mendapat mengakuan dari negera atas statusnya.
jadi memang gak salah juga kalau mereka meng-kup atas nama rakyat. paling enggak, rakyat yang dimaksud ya dirinya sendiri. kerombolannya atau.... bener2 rakyat secara hakiki. DPR berbicara atas nama rakyat indonesia... sekalipun banyak kebijakannya bertolak belakang dengan kepentingan rakyat secara hakiki. pemerintah atas nama rakyat bisa ngutang ke negera lain, sekalipun belom tahu, bayarnya pake apa. bisa juga bikin perjanjian dengan negara lain, perusahaan multinasional dll, sekalipun hasilnya menghancurkan kehidupan rakyat.

Ornop... kebanyakan menggalang dana, yang kebanyakan juga dana dari luar negeri atas nama rakyat juga. Kasus2 yang dihadapi rakyat, antisipasi atas kesengsaraan rakyat, mengentaskan kemiskinan rakyat..

Ya, semua berbicara atas nama rakyat... lalu benarkan rakyat sendiri merasa diwakili suaranya oleh semua mua yang mengatas namakan rakyat. gak peduli mereka itu siapa? untuk nambah utang, bangun PLTN, jualan tambang dan mineral serta gas bumi, hutan, sampe air.

Rakyat memang sebuah komoditi. komoditi untuk segala hal. dari mulai mendirikan negara, menjalankan negara, sampe mendapatkan recehan2. juga untuk menjadi populer, bahkan menjadi pahlawan....

Jogja ku yang meringis...

3 comments
Jogja memang begitu damai. Semua pasti setujua kalau berbagai julukan untuk propinsi yang pernah jadi ibu kota sementara Indonesia tepat. Kota gudeg, karena memang makanan khas banyak disukai. Kota pelajar, tepat juga. Ratusan perguruan tinggi, sekolah menengah sampe tempat kursus menjamur. Boleh di bilang, setiap dusun pasti ada pusat belajar. Kota budaya… mmm.. kayaknya ini banyak makna. Bisa jadi karena Jogja sampai saat ini masih kokoh memegang tradisi yang ada. Bahkan, di Nusantara ini, kepatuhan terhadap Raja hanya di jogja yang masih mengakar sangat kuat. Makna lain, bisa jadi sebagai kota pelajar akhirnya mengundang seluruh para penduduk negeri kepulauan ini datang untuk sekolah. Jadilah Jogja sebagai miniatur Indonesia. Makna lain bisa juga karena peninggalan2 budaya yang ada di sana. Dari mulai candi2, bangunan tua jaman belanda sampe alat2 perang dan alat dapur. Ya… Jogja memang luar biasa.

Sampai saat ini, aku selalu merindukan Jogja. Tak salah kiranya Katon Kla Project menuangkan kerinduannya lewat syair “Jogjakarta”. Tak salah pula banyak wong Jogja rela bolak balik Jogja – Jakarta setiap Jumat sore dan kembali ke Jakarta minggu malam mempertahankan keluarganya di sana. Jogja memang menawarkan sejuta kedamaian.

Namun, julukan2 tersebut sedikit terbiaskan…
Terbiaskan dengan berbagai ego dan kepentingan jangka pendek. Kota pelajar yang ramah, siap menyambut seluruh masyarakat mulai bergeser. Kampus-kampus mulai memagari diri. Menunjukan kekuasaannya sebagai penguasa. Alasan tak logis pun dilogis2kan. Pasti… dan yakin sekali wong jogja setuju deh (lang wong ini sempet jadi rasan2 buanyak orang jogja dan orang2 yang numpang sementara tinggal di jogja). Ketika UGM, kampus yang katanya kampus rakyat, milik masyarakat gak cuma jogja, yang hanya dikasih pinjem tanahnya sama Kraton Jogja menutup akses jalan umum. Bak sekolah swasta yang memeng beli tanah sendiri, UGM mengatur jalan-jalan yang dibangun dari uang negara. Gerbang pun di buat dan di tutup untuk umum. Sebelumnya, pedagang kaki lima di minta hengkang dari wilayah Kampus.
Alasan klasik dari pihak pengelola, menjaga keamanan kampus. Mejaga ketenangan proses perkuliahan.

Gak cukup itu saja. Kampus yang gak pernah membuat perencanaan kawasan ini juga mulai membangun. Bahkan membangun mall, tanpa AMDAL pula. Lho..???? bukankah mereka banyak meluluskan para penyusun dan penilai AMDAL. Iya, itu urusan bisnis lain kawan…
Masih kurang, bersama Bupati penguasa wilayah Sleman, jalan protocol yang saat ini dikelola propinsi di minta. So pasti, jalan utama ini pun akan ditutup juga.
Hebat kan….

Kota pelajar sebagai gudang ilmuan ini memang harus legowo melepaskan julukannya. Bagaimana tidak, la saat gempa memporak porandakan separo jogja adalah bukti, bahwa julukan itu memang gak lagi pantas bersandar di sana. Duluuuuu… mungkin iya. Disaat para dosen, guru dan mahasiswanya bener2 menerapkan ilmu yang dimilikinya untuk kepentingan rakyat. La emang sekarang ilmu itu buat siapa? Siapa lagi kalau bukan untuk kepentingan bisnis… untuk mendapatkan uang dan materi sebanyak2nya. Liat aja rector yang minta gaji dan tunjangan gila2an. Sampe2 di demo sama staff dan dosennya sendiri. Menjadi konsultan AMDAL dan konsultan lainnya… hanya untuk justifikasi ilmiah, justifikasi akademis kalau bisnis itu sah adanya. Udah diteliti sama pakarnya je.. gelarnya aja lebih panjang dari namanya. Masih meragukan kapasitas mereka sebagai konsultan??

Masih ingat dengan polemik Taman Nasional Gunung Merapi, AMDAL aqua, atau AMDAL kawasan industri piyungan. Bebekal itu, kawasan piyungan yang rentan terhadap bencana pun disulap melalui Perda kab. Bantul menjadi kawasan Industri. Saat gempa 27 Mei baru kita percaya, kalau warning dari banyak pihak, dari dosen2 yang masih lurus pikirannya, dari para aktifis Ornop yang belum terbeli proyek2 pemerintah, dari semua yang peduli terhadap lingkungan dan keselamatan warga.

Iya.. Jogja yang sebetulnya menyimpan ancaman bencana terabaikan. Banyaknya ilmuan dari kampus2 dan sekolah2 tidak mampu menginformasikan dan menyadarkan warga jogja untuk bersiaga. Jutaan mahasiswa yang diterjunkan lewat paket2 kampus, ya KKN, PKL dll terbukti cuma untuk memenuhi syarat akademisi. Penelitian para dosen pun cuma untuk mengejar kedudukan. Dan kepintaran para birokrat pun terbutakan oleh kepentingan jangka pendek.

Jogja menangis.. Jogja terpuruk.. Jogja yang menawarkan kedamaian sehingga dirindukan jutaan orang terkulai lemas hanya lewat satu geliat bumi. Kesombongan atas kesiapan menghadapi ancaman bencana hanya sekedar omong kosong. Ratusan pakar pun diam membisu sesaat. Cuma sesaat… karena dengan kecerdikannya, kembali bersuara bak orator ulung. Kembali mengeluarkan analisis dan teori2nya untuk membangun kembali.

Herannya, toh kita masih percaya ya sama mereka2 itu. Padahal.. ngapain aja mereka selama ini. Mereka melanglang buana jualan ilmunya, sampe ke peloksok negeri ini. tapi daerah sendiri gak keurus. Bukankah hancurnya Jogja oleh gonjangan bumi 5,9 SR adalah buah karya mereka juga. Ya, data dan informasi yang mereka genggam jauuuh hari sebelum kejadian memilukan itu untuk apa? Ketika Bupati Bantul meminta justifikasi perubahan piyungan menjadi kawasan industri, padahal tahu kalau daerah disana rentan terhadap bencana. Kemana suara mereka, apa peran para ilmuan kebumian, budaya, social dll. Diam membisu. Sibuk mengerjakan proyek2 penelitian sampe ke ujung papua.

Dominasi itu kembali ditunjukan. Bak dewa penyelamat, kembali mereka menebar pesona. Menyeruak diantara kesibukan memulihkan dan membangun kembali Jogja. Gelar yang melekat erat di depan atau belakang namanya.. menjadi ajimat yang sangat ampuh. Seampuh keris empu gandring milik Ken Arok.

Bisakah Jogja lebih baik dalam proses pembangunan kembali paska bencana dahsyat ini. Keraguan2 sudah mulai muncul. Hiruk pikuk tanpa ritme saat penanganan darurat masih masih terus berlanjut. Keberpihakan terhadap masyarakat masih jauh dari harapan. Keberpihakan masih lebih dekat dengan kekuasaan dan materi. 15 juta untuk warga : 2 juta perbulan untuk para fasilitator. Entah berapa yang dikantongi para konsultan2. Tidak ada upaya yang sungguh2 untuk mendapatkan lebih sebagaimana dijanjikan Sang Kalla. Tidak juga upaya lain agar warga terkena dampak bencana lebih bisa hidup bermartabat. Sebagai mana mandat dan janji negeri saat berani memerdekakan diri….

catatan perjanan III - thanks KAPPALA foundation

2 comments
he.. he.. jadi malu nih. kemaren udah pengen nulis tentang sambungan perjalan idupku.. eh malah nyasar ke topik lain. ya, aku gak bisa ngeboong kejengkelan sama si bush sialan itu... bush yang aku definisikan sudah menciptakan bencana baru dengan kedatangannya di Indonesia.

Aku memang menikmati hidup ini... dari sini aja aku mulainya ya...
ya, betul, aku sangat menikmati hidupku di dunia organisasi non pemerintah. tapi kita tahu sendiri kan... ya pasti dirasakan kawan aktifis di daerah2 miskin donor. (ketergantungan Ornop sangat tinggi atas lembaga donor). kita gak mungkin bisa mengandalkan kerja di ornop sebagai pegangan hidup. apalagi Ornop kecil merengil kaya KAPPALA saat itu. tapi, itu betul2 disadari oleh semua aktifis yang ada di sana. buat yang masih kuliah, ya.. tetep ngandelin kiriman ortunya. sama dengan aku...
Di KAPPALA, kita semua betul2 belajar sambil berbuat yang mungkin bisa membantu menjalankan berbagai aktifitas bersama masyarakat. Belajar... ya betul, kita semua masih dalam proses belajar... belajar yang tidak akan pernah kami anggap selesai sampai kapanpun.

Aku mulai belajar membuat tulisan. menuangkan apa yang ada dikepala dalam bentuk tulisan. mulai juga belajar motret dengan standard2 jurnalistik, belajar juga membuat perencanaan kegiatan sekaligus menjalankannya. Komputer 486 DX sebagai satu2nya aset paling berharga kita tidak pernah berhenti bekerja. kami dengan sabar bergantian menggunakannya untuk banyak hal. Kami mulai berkumpul dan bekerja pada malam hari dan berhenti ketika azan shubuh bergema. begitu terus...
Ya, itu lah saat awal aku punya aktifitas diluar dunia pencinta alam yang ku geluti selama ini, Oktober 1994.
Diskusi2 yang muncul tidak lagi melulu gunung2 yang tinggi dengan variasi medannya, goa vertikal yang menjorok di perut bumi atau arus sungai yang liar. tapi mulai beralih pada masyarakatnya yang tinggal diseputar tempat para pencinta alam beraktifias. Ini sama persis yang aku alami tanpa mengerti substansinya ketika Merapi mengirimkan awan panasnya ke dusun Turgo.
saat itu, sebagai pasukan berani mati yang gagah berani, tanpa dikomando pun kita akan langsung bergerak. SAR.. itu aja yang terlintas dibenak hampir semua kawan2 pencinta alam saat itu. Mencari dan menolong.. tapi ini awan panas men... sasaran yang akan di tolong adalah manusia yang terpanggang uap panas 300 derajat celcius. Apa yang bisa dilakukan? operasi yang biasa dilakukan adalah nyari orang ilang di gunung. saat itu sungguh tidak terpikir.. yang penting jalan aja dulu..
sampe pertigaan jalan yang menuju Turgo, sepasukan pasukan pun telah berjaga dengan satu perintah. melarang siapapun untuk masuk.. titik!!!

Kita gak bisa berbuat apa2. akhirnya bergerombolah sang pencinta alam ini dipertigaan jalan tanpa tahu apa yang bisa dilakukan. yang udah merasa bosen nongkrong, pulang ke jogja. beberapa sukarelawan dengan seragam jelas, bisa masuk sampe ke tempat pengungsian. mereka masak di dapur umum, menyediakan air bersih, mendistribusikan bantuan dll. sementara, warga desa yang mengungsi terlihat kuyu dan tidak bersemangat. selain pikirannya banyak tertuju pada keluarganya di rumah sakit, juga bingung dengan aset-asetnya yang ditinggalkan.

Jujur, saat itu aku dan segerombolan pencinta alam yang datang ke pengungsian gak tahu, apa kira2 yang bisa kita lakukan. mau ikut masak, gengsi dong.. masak pencinta alam masak... sama dong dengan KSR, PMI, Pramuka dan Menwa. sungguh ego itu masih begitu kuat melekat di otak kita. olok2 pun sering terlontar diantara senda gurau kami. Mau nyari korban yang mungkin belum terevakuasi, dilarang sama aparat... soooooo....

Diskusi2 ku di KAPPALA mulai nyambung dengan peristiwa demi peristiwa yang dulu aku gak paham. Seharusnya, kita bisa berbuat lebih banyak di pengungsian dari pada cuma sekedar nongkrong dan mengolok2 orang yang dengan tulus membantu warga yang mengungsi. Tapi lewat diskusi itu pula, aku menjadi paham... seharusnya yang masak itu warga sendiri. karena mereka masih punya kemampuan untuk itu. kita cukup memfasilitasi kebutuhan yang mereka gak bisa penuhi. bersama2 warga membuat mekanisme selama dipengungsian, juga memikirkan aset2 yang ditinggalkan.

Banyaknya warga yang "mbolos" dari pengungsian pulang ke kampungnya menunjukan bahwa, ada kebutuhan lain yang tidak terpenuhi dalam penanganan bencana tersebut. Ya, warga harus mengurus ternaknya yang ditinggalkan di dusun. harus mengamankan aset2 lain di rumahnya. atau juga mengelola ladangnya yang siap panen. Larangan tanpa ada kejelasan siapa yang menjamin terjaganya aset2 mereka menjadikan mereka resah.

Tidur dalam satu ruang besar, aula pertemuan, sekolah atau tenda besar jelas sangat tidak nyaman. Orang tua bercampur dengan anak2 dan balita. Laki2 berbaur dengan perempuan. sanitasi pun sangat tidak berimbang dengan jumlah warga yang mengungsi. semua itu betul2 menjadi pencerahan buat ku, bagaimana pengelolaan bencana harus dilakukan. salahnya menangani bencana, akan menciptakan bencana baru bagi warga yang baru saja terkena bencana....

Mitigasi untuk awan panas merapi adalah program pertama ku di KAPPALA. program yang keren tentunya.. jujur juga, saat itu aku masih belum tahu substansi dari program. yang ku tahu hanya bagaimana masyarakat lereng selatan Merapi mempunyai kemampuan untuk meredam risiko bencana awan panas. kegiatan yang dilakukan adalah ngobrol2 sama warga.
Ya.. cuma ngobrol2 aja. ikut ke kebun, ikut nambang pasir, ke dapur dan ikut masak atau bertamu. beberapa pertanyaan telah disiapkan. tapi pertanyaan tersebut tidak boleh ditanyakan seperti layaknya wartawan. pertanyaan harus dikemas menjadi sebuah obrolan ringan...
itu adalah pelajaran awal tentang PRA. saat itu, aku sih cuma tahu kepanjangannya doang yang pake bahasa inggris. participatory rural appraisal. alat2 yang digunakan untuk menggali informasi, berdiskusi dan mendapatkan berbagai solusi terus kami praktekan. masih sangat kaku. peta sumberdaya, transek, diagram ven, alur sejarah desa dll. dijalankan tanpa variasi. ya... namanya juga amatir, he.. he...

3 bulan kami bersama warga kaliadem berdiskusi tentang ancaman bencana disana. karena pola yang dibangun dengan pendekatan persaudaraan, kami pun kerap mendiskusikan topik lain. seperti tanaman kopi, ternak sapi, tambang pasir dll. tidak ada batasan, kami harus siap berdiskusi dan bersama2 mencari jalan keluar. mencari dukungan dari luar untuk itu.
tanpa terasa, program telah berakhir. Namun, kami tidak pernah merasa program tersebut telah berakhir. kami tetap saling kunjung, melanjutkan diskusi dan berkegiatan bersama2.

aku sih asyik2 aja menjalankan kegiatan tersebut. aku seneng.. ya aku lakuin. itu prinsipku dalam menjalankan hidup ini. ya.. hidup ini tidak hanya untuk dipikirkan, tapi untuk dijalani. jalan ke ploksok2 adalah kesenenganku. aku masih belum begitu memikirkan kalau kegiatan tersebut berdampak besar bagi kehidupan masyarakat. ego ku masih dominan, yang penting seneng.

Setelah Merapi secara programming selesai, aku kembali terlibat dalam riset kelayakan kawasan Tuban untuk pabrik semen.
Ini pelajaran selanjutnya untuk menggunakan akal dan pikiran yang ada di kepala ku. MTG, sebagai presidium KAPPALA tidak terlalu banyak ngomong. dia hanya berdiskusi singkat tentang kebutuhan ke lapangan. Aku pun sebagai orang yang asal seneng, yang penting jalan. Kepergianku pertama di Tuban amat sangat membekas. aku saat itu jalan bareng Uwi (almarhum; semoga ini menjadi bagian amal beliau di sisi Tuhan, amiiin).
sebagai prajurit yang baik hati dan tidak sombong tapi tidak rajin menabung, aku merasa cukup menjalankan perintah juragan. jadi yang dicari adalah pernyataan2 global dari komandan saja.

setelah lima hari di sana, kami pun kembali. eeee.... kami habis diketawain sama sang komandan karena keluguan kami. mendapatkan data hanya yang bersifat general saja. beberapa masukan pun kami dapat. dan ke esokan harinya, kami harus berangkat lagi ke Tuban. Sama, tidak ada tugas secara spesifik dari sang presidium. Tapi, diskusi kami tentang substansi telah menambah wawasan dan memberikan gambaran lebih terang, apa kira2 yang harus kami cari.
selama perjalanan naek bus, trus angkudes menuju lokasi, aku terus berpikir tentang apa kira2 data yang harus didapat untuk menyelamatkan tuban dari ancaman tambang dan pabrik semen. pikiranku kembali saat aku diporak porandakan otakku saat training di kappala. Saat berkegiatan di Merapi dan serangkaian diskusi di kappala.

Yang terpikir di otakku juga, ini adalah bagian dari test case dari proses yang sedang dijalankan di KAPPALA. ada semangat untuk bisa membuktikan, bahwa... aku bisa melakukan. aku bisa membuktikan bahwa, aku gak cuma bisa turun naek gunung. bisa membuktikan kalau diantara hendonisme yang aku punya, sedikit bisa berbuat untuk lingkungan.
saat pertama ke Tuban, saya sempet mampir ke sebuah goa (lupa namanya) yang merupakan sumber air untuk Tuban. terdapat juga bulus raksasa di sana. paling tidak, dengan sedikit yang bisa aku lakukan bisa berkontribusi terhadap penyelamatan goa dan ekosistemnya...

bersambung lagi ya.....

KAWASAN KONSERVASI, SEBUAH ANGAN2

0 comments
Suradji begitu serius mendengarkan penuturan seorang aktifis yang begitu berapi2 menjelaskan risiko dan dampak jika sebuah kawasan dijadikan Taman Nasional (TN). Bersama puluhan warga dusun2 seputar lereng Merapi, di sore yang mulai dingin berlapis kebut tipis, mereka berdiskusi tentang rencana penetapan lereng Merapi dan Merbabu menjadi TN.

Hanya sebagian kecil mereka yang tahu informasi terkait rencana tersebut. Informasi pun jauh berbeda. ini pula yang menyebabkan mereka lebih serius menyimak. Apalagi beberapa contoh kekerasan, bahkan yang menyebabkan kematian disampaikan dengan detil. Kekerasan yang dilegalkan atas nama kawasan konservasi. Informasi beberapa aktivis yang sebelumnya telah mereka kenal. Mereka telah berkawan cukup lama untuk berbagai kegiatan di kawasan yang dibagi menjadi 4 wilayah administrative ini.

Kondisi ini terjadi hampir di seluruh Indonesia tercinta ini. Warga tidak mengetahui informasi apa2. Bahkan untuk beberapa kawasan, perubahan status hanya diketahui beberapa gelintir pejabat saja. Dan waktu nya pun sangat cepat.TN Batang Gadis misalnya. Hanya 3 bulan proses penetapan kawasan seluas 361.885 ha. Demikian juga dengan TN Ciremai di Jawa Barat.

Perubahan beberapa kawasan menjadi TN secara cepat tidak lepas dari sesumbar Dept. Kehutanan atas nama pemerintah Indonesia mewujudkan 1 juta hektar kawasan konservasi kepada dunia internasional. Sesumbar tersebut tentu tidak datang dengan sendirinya. Berbagai tawaran telah masuk ke meja dept. yang bertanggung jawab mengurus seluruh hutan di Indonesia. Tawaran berupa hibah sampai hutang. Rencana tersebut, paling tidak juga untuk menutup noda hitam Indonesia sebagai negara perusak hutan.


DIMANA SIH AKAR MASALAHNYA…

Pokok persoalan pengelolaan kawasan adalah terpurusnya hubungan harmonis antara kawasan itu sendiri dengan manusianya. Harmonisasi perlu diciptakan, ketika ada pihak ketiga terlibat dalam pola hubungan yang sudah tercipta sebelumnya.
Jauh sebelum negeri ini sesak dengan manusia, ketika hutan, gunung, lautan dan sungai2 masih sederhana dikelola karena seluruh kebutuhan manusia dapat terpenuhi dari alam, ketika negara hanya menguasai hanya beberapa petak lahan, ketika adat dan tradisi dan aturannya dipatuhi… tidak begitu banyak persoalan seputar pengelolaan kawasan. Masing-masing menjalankan fungsinya. Orang yang ditugaskan menjaga hutan menjalankan fungsinya dengan baik dengan segenap aturan. Demikian juga orang yang diserahi tugas mengatur tata air, administrasi warga masyarakat dll.

Perubahan signifikan mulai terjadi ketika system local diintervensi pihak luar yang melihat potensi yang terkandung di dalamnya. Intervensi dengan maksud mengusai dan mendapatkan keuntungan, pribadi, kelompok atau golongan, entah itu orang berduit, perusahaan atau negara. Masa penjajahan fisik dituduh sebagai awal dari itu semua. Padahal, sebelum bangsa Eropa masuk dan menguasai hampir seluruh nusantara ini, bangsa kita yang masih dikuasai negeri2 kecil saling mencaplok wilayah lain untuk dikuasai.

Dari sisi kebijakan, kita harus jujur kalau berbagai produk hukum kita lebih mengadopsi produk hukum luar, khususnya Belanda. Tapi khusus untuk TN, diambil dari amrik. Konsep pengelolaan mengadopsi system pengelolaan kawasan Yellow stone. Sedangkan Cagar alam, suaka margasatwa, atau perhutani mah jelas2 peninggalan Belanda. Sekalipun telah dimodifikasi produk local, namun jika kita jujur kembali, produk tersebut pun import juga.

Pengikisan kultur local dilakukan secara sistematis. Dari mulai memunculkan image "kuno", "primitive", "udik", "kampungan" sampe masyarakat terbelakang. Opini2 tesebut secara pasti menghegemoni pemikiran masyarakat secara umum. Kebijakan pun ikut mempercepat runtuhnya kearifan local. Diversifikasi pangan runtuh dengan berasisasi dan penilaian daerah terbelakang yang salah satu indikatornya adalah jenis makanan pokok. Kearifan dalam menjalankan kehidupan pun semakin terkapar tanpa daya oleh hantaman pola konsumtif.

JASA-JASA KAWASAN DAN KEHANCURAN

Telah ratusan sarjana, master atau doctor terlahir dari sebuah kawasan. Merapi, Ujung Kulon, Wakatobi, Bunaken dll. Telah milyaran rupiah pula dana yang dihasilkan kawasan2 penting tersebut. Tidak hanya hasil langsung, misalnya pasir merapi yang terkenal, atau keindahan alam melalui paket-paket wisata. Mengatasnamakan kemiskinan, pengembangan masyarakat, ancaman erupsi atau lainnya pun menghasilkan ratusan milyar, dari hibah, uang pajak sampai hutang luar negeri.

Ego kekuasaan, kepakaran, atau kedudukan membutakan realitas. Ini lah yang terjadi di negeri mega biodiversity. Bukti2 kongkrit eksistensi dengan system local tidak pernah diakui. Masyarakat Baduy, suku Naga dan masyarakat adat Tenganan adalah salah satunya dalam kontek hutan. Tidak banyak intervensi negara dalam pengelolaan kawasan hutan di sana. Paling cuma survei lalu menuliskan laporan tentang kondisi di sana. Tidak lupa mencantumkan hal2 yang tidak pernah dilakukan sebagai upaya kerasnya untuk eksistensi hutan tersebut.

Namun system hubungan yang jelas2 menjamin kelangsungan SDA di sana tidak dijadikan dasar analisis pengelolaan kawasan yang lebih luas. Memang, masing-masing daerah mempunyai karakteristik khusus. Nah, justru dari situ seharusnya mereka para buruh rakyat menggunakan otaknya membangun konsep pengelolaan kawasan. Bukankah teori dibangun berdasarkan serangkaian pengalaman yang telah dilakukan dan terbukti berhasil. Penghargaan atas berbagai upaya masyarakat pun seharusnya diwujudkan dalam bentuk yang lebih kongkrit. Bukan hanya acara seremonial berupa penghargaan yang tidak jarang justru meruntuhkan system yang sudah ada.

Aneh bin ajaib memang kalau kita berpikir dan menggunakan kata hati atas realitas yang terjadi. Kok bisa terjadi. Tapi… ya kembali.. ego dan kepentingan akibat keserahan, ketamakan memang bisa membutakan mata hati. Benar betul apa yang disampaikan Mahatma Gandhi tentang ketamakan tersebut : “bumi mampu menghidupi seluruh penghuni bumi, tapi tidak untuk satu orang yang tamak dan serakah”. Masalahnya, yang tamak dan serakah di bumi ini tidak cuma satu, tapi mungkin separo penghuni bumi. Lebih celaka lagi, si orang tersebut memiliki kekuatan melalui kekuasaan, jabatan atau harta.


TIMBAL BALIK KEUNTUNGAN, KAWASAN - MASYARAKAT LOKAL

Tidak ada penghargaan yang riil atas berbagai upaya masyarakat terhadap pengelolaan sebuah kawasan. Penghargaan hanya dimaknai sempit berupa simbol2. Penghargaan award misalnya atau sekedar memuji saja. Program2 kerja yang dilakukan pun hanya untuk menjalankan projek. Apalagi sinergis antar program. Bahkan yang terjadi adalah tumpang tindih. Yang satu nanam, lainnya menebang. Satu melarang mengusik kawasan karena dilindungi, instansi lain mengeruk karena ada bahan tambang atau membuka kawasan untuk jalan atau pemikiman transmigran, perkembunan dll.

Timbal balik adalah salah satu bentuk mengembalikan pola hubungan antara warga yang tinggal di seputar atau didalam kawasan penting dengan kawasan itu sendiri. Dulu, bisa jadi masyarakat menggantungkan sepenuhnya pada alam. Tidak begitu berpengaruh besar ketika kebutuhan kayu untuk bikin rumah, post ronda atau lainnya. Tapi sekarang, dimana populasi sudah mekar, alam sudah tidak lagi mampu memenuhi seluruh kebutuhan warga. Hanya sebagian saja yang masih tersedia, itu pun harus mempertimbangkan keberlanjutannya. Dari kebutuhan 10, mungkin hanya 3 yang bisa disediakan. Lalu bagaimana memenuhi kekurangannya?

Inilah dasar yang harus dipertimbangkan dan cari solisusinya. Membebankan kewajiban tanpa memikirkan haknya yang terpotong karena kewajiban, bukan tindakan bijak. Namun itulah yang terjadi dengan kebijakan kawasan konservasi kita. Bahkan kalau kita tegas dengan aturan yang sudah dibuat, warga yang memiliki ternak, tidak akan bisa lagi mengambil rumput disana, diluar areal yang telah disediakan berupa zona pemanfaatan. Tidak ada solusi ketika kebutuhan tidak dapat terpenuhi akibat pengkotak2an melalui zona2 tersebut. Belum lagi ketika zona pemanfaatan dikuasi oleh pihak lain melalui ikatan kerjasama pengembangan kawasan. Ekowisata misalnya. Kemana warga akan mendapatkan rumput untuk ternak2nya. Mencari kayu bakar atau tanaman obat yang tumbuh liar di dalam kawasan.

Ini hanya sebuah contoh kecil yang bersifat teknis. Hal yang lebih besar dan strategis tentu perlu dipikirkan. Tidak hanya dipikirkan, tapi juga diimplemantasikan. Bagaimana membangun pola hubungan harmonis antara warga masyarakat dan kawasan. Pola hubungan yang mengikat didasarkan asas manfaat. Jika dulu pola hubungan dapat dibangun karena sama-sama saling memberikan. Alam meberikan modal hidup pada masyarakat, masyarakat menjaganya. Lalu dalam kontek sekarang bagaimana?

Tentu kita sama tahu, kondisi kehidupan masyarakat pinggiran kawasan penting yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi termarginalkan dan terisolir. Selain hak nya dipenggal dengan berbagai peraturan, tidak ada pengganti hak terpenggal juga fasilitas publik serta terbatas. Pelayanan kesehatan jauh dari kampungnya. Sekolah pun demikian. Itu pun dengan kualitas alakadarnya. Sarana struktur dan infrastruktur pun tidak terurus. Bantuan atau lebih tepatnya kewajiban negara untuk memfasilitasi perkembangan dan pembungan jarang sampai. Kalau pun ada, sangat tidak memadai pula. Jika melihat kondisi ini, menjadi wajar jika menjadikan hubungan alam dan manusia tersebut terputus.

Buat apa menjaga kawasan yang katanya penting, toh mereka tidak pernah mendapatkan apa2. Bahkan salah2, bisa jadi tertuduh. Sehingga ketika ada orang luar masuk memanfaatkan SDA yang ada, mereka tidak begitu peduli. Karena desakan untuk memenuhi kebutuhan dasar pula, mereka mudah tergiur oleh tawaran pihak luar mencuri asset-aset alam yang ada disana. Apalagi, orang yang seharusnya menjaga kerap berada di balik aksi pencurian tersebut atau menjadi aktor pencurian itu sendiri. Terlalu janggal kiranya jika kita di suguhkan dengan kata “oknum”. Karena jumlah yang menjalankan kewajiban dengan benar lebih sedikit dari pada yang menjadi aktor yang mendukung perusakan kawasan.

Menilik dari termarginalisasinya warga masyarakat pinggiran atau dalam kawasan konservasi, minimnya fasilitas publik, ditambah dengan segudang kewajiban plus pemotongan hak, adalah biang dari munculnya persoalan dalam pengelolaan kawasan. Tidak akan pernah terjadi sebuah kawasan dapat terkelola dengan baik tanpa keterlibatan masyarakat setempat. Bahkan berulang2 pemerintah menyatakan tentang keterbatasan personel yang harus mengurusi sekian luas kawasan. Omong kosong juga jika melibatkan masyarakat hanya pada pelaksanaan proyek2 yang kadang tidak dipahami manfaatnya. Pada rapat2 pengambilan keputusan tanpa tahu proses dan implikasi dari keputusan tersebut. Atau hanya melibatkan segelintir orang, entah itu tokoh atau kontak person atau sekelompok orang dalam proyek percontohan.

Kita harus jujur dengan sejujur2nya atas kesalahan system kelola yang dijalankan saat ini, jika memang tujuannya adalah untuk keberlanjutan kawasan tersebut. Harus berani keluar dari egoisme yang selama ini justru mendorong proses perusakan kawasan. Merubah kebijakan dan betul2 melihat persoalan riil yang ada dilapangan.

Memberikan berbagai fasilitas publik sebagai timbal jasa warga terlibat, langsung atau tidak langsung menjaga eksistensi dan fungsi hutan adalah salah satunya. Fasilitas publik tidak hanya berupa fisik, tapi juga pelayanan yang lebih dari mencukupi. Paling tidak, fisik dan pelayanannya setara dengan yang ada diperkotaan. Pelayanan kesehatan, pendidikan, administrasi desa dll. Selain itu, meningkatkan kapasitas dan pengetahuan dalam memanfaatkan asset-aset alam yang sekaligus meningkatkan fungsi kawasan itu sendiri. Untuk menjalankannya, tentu perlu bantuan lain untuk menjalankan gagasan2 yang berkembang ditingkat masyarakat. Baik melalui modal usaha maupun pemasarannya. Akses transportasi harus diperbaiki tidak hanya mengedepankan keuntungan. Tapi lebih sebagai bagian timbal jasa. Timbal jasa buat warga akan sempurna ketika beban pajak pun diringankan, atau bahkan dihapuskan.

Berbagai fasilitas tersebut diberikan sebagai bagian dari penghargaan atas jasa warga menjaga eksistensi dan fungsi kawasan. Namun begitu, perlu juga mensinergiskan dengan kebijakan lain dari pemerintah sendiri. Jangan memulai melanggar dengan kebijakan lain. Misalnya pertambangan, membangun sarana fisik di dalam kawasan yang dalam aturan memang dilarang, atau memberikan pengelolaan pada swasta. Karena ini akan menjadi noda atas berbagai upaya dalam membangun pola harmonis yang sudah tercipta....

catatan perjalanan II, (Bush, presiden dan bencana...)

0 comments
malas rasanya melanjutkan cerita perjalanku ini...
entah.. setelah kesibukan bertambah... kerjaan gak abis-abis malah nambah terus, segan rasanya sekedar menuangkan apa yang ada dikepala dan hati. menyaksikan keserekahan, ketamakan yang menjadikan bodoh para pejabat negeri ini.
secara keilmuan, pengetahuan dan skill.. kayaknya gak ada deh yang meragukan. Meraka pasti orang pinter2 (makanya ditunjuk jadi meteri, direjen, kabag dll). tapi menjadi tolol ketika dikungkung oleh kepentingan dan keserakahan.

Ketololan ditunjukan dengan menyambut dengan sepenuh hati sang terrorist dunia, george "dajjal" wolker bush. Manusia yang di negerinya sendiri mulai gak dpt kepercayaan lagi karena menjerumuskan negeri paman sam ke berbagai masalah. dari mulai perang irak, mendorong kehancuran iklim bumi dengan gak mau menandatangani protokol kyoto ampe penyiksaan dan pembunuhan orang tak berdosa dengan tuduhan "terrorist". Hanya untuk menyambut dia, kebun raya yang menjadi kebanggan bangsa ini pun di acak-acak hanya untuk menyiapkan helly pet. untuk menyambut kedatangannya, sistem sosial kota hujan pun terganggu. mmmm... kalau menggunakan definisi disaster, kedatangan si bush ini sudah masuk katagori bencana lho...
terjadinya ketergangguan sistem kehidupan di masyarakat dan masyarakat tidak mampu mengatasinya sendiri. cuma satu indikator aja yang gak masuk, hilangnnya korban jiwa. kalau harta.. pasti terganggu. bagaimana pedagang akan dibatasi aktifitasnya. juga petani, mahasiswa, sopir dll.

Kalau kedatangannya sudah menciptakan bencana sosial.... kenapa pemerintah kita begitu bangganya menyambut kedatangan mereka? nah itu adalah salah satu contoh kegoblokan para pejabat negeri ini. Mereka yang makan dan hidup dari uang rakyat, dari pajak, dari hutang luar negeri dengan menjual kemiskinan, pembangunan dll... yang katanya untuk kesejahteraan rakyat.
Hebat kan.. mereka yang udah dikasih berbagai fasilitas tapi malah menginjak pemberi fasilitas tersebut...

jadi gak jadi deh mau cerita tentang perjalanan II yang udah mau aku tulis... he.. he...
gara2 bush pencipta dan pembawa bencana...
tapi kayaknya ini cukup menerik juga ya.. kalau kriteria bencana bisa ditambah disini. bencana akibat manusia, lebih spesifik akibat kedatangan pejabat.
Bukankah ketika presiden datang mengunjungi suatu tempat pun sama. Protokoler kepresidenan yang menjijikan telah pula memakan korban. saat mereka mengunjungi Merapi sebagai bentuk perhatian sang kepala negara, warga masyarakat justru mendapatkan susah. Berhimpitan sesama warga karena tempat pengungsian dipake si bapak menginap. saat kejadian bencana banjir bandang di jember, kunjungan dia pun menyebabkan suplay kebutuhan dasar pengungsi terganggu.
bahkan saat beliau yang terhormat lewat jalan tol, jatuh korban jiwa akibat pengendara saat itu diminta berhenti mendadak dan terjadi tabrakan karambol. si supir pun jadi tertuduh...

Kayaknya memang perlu deh memasukan satu kriteria penyebab bencana akibat dari kedatangan pejabat...
Para pakar pengelola risiko bencana harus memikirkan tentang itu. ya.. bencana akibat kedatangan presiden....

MIMPI INDAH KEBERLANJUTAN KEHIDUPAN BERMARTABAT PASKA BENCANA TSUNAMI

0 comments
Aceh begitu popular paska terjadinya tsunami akibat gempa berkekuatan 8,9 skala richter. Bencana yang mengakibatkan lebih dari 200.000 jiwa terenggut nyawanya dan menyisakan kurang lebih 1,5 juta jiwa sebagai pengungsi. Banyak versi mengenai jumlah korban jiwa akibat bencana habat tersebut. Pemerintah secara resmi mengumumkan data 126.915 jiwa, Dept. Kesehatan 173.941 jiwa.

Tiga bulan paska bencana, blue print sebagai kerangka acu pembangunan kembali tersusun. Kontra versi tentang proses dan substansi menjadikan blue print yang telah tersusun rapih berubah hanya berupa prinsip-prinsip dasar. Partisipasi masyarakat, karakteristik local serta berbagai analsis dampak jika terjadi pemaksaan penggunaan blue print sebagai guide line yang memang disusun tergesa-gesa han ya untuk memenuhi berbagai ketentuan tawaran bantuan dari luar negeri untuk proses pembangunan kembali. Justifikasi potong kompas yang kerap dilakukan diberbagai bidang.
P roses pembangunan kembali aceh akan memasuki tahun ke dua. Berbagai kritik terhadap kerja-kerja pembangunan kembali cukup terbuka. Korupsi merupakan isu yang paling kuat mengiringi proses penanganan bencana gempa dan tsunami ini. ketida k siapan system, sampai tingginya berbagai kebutuhan akibat permintaan yang melebihi ketersediaan barang dan jasa. Problem lain adalah persoalan lingkungan yang kerap disebut-sebut dalam berbagai kesempatan. Namun tidak pernah bisa dibuktikan dalam tataran implementasi.

Berbagai bencana lain yang mengiringi, baik langsung, penanganan IDP’s yang tidak memadai, atau bahkan buruk, pembangunan rumah dan infrastuktur serta fasilitas public maupun konsep makro yang terintegrasi dalam proses pembangunan kembali. Pemenuhan kebutuhan matrial seperti kayu, batu bata, batu kali, batu gamping, pasir misalnya untuk pembangunan fisik cenderung mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan. Alasan sempitnya waktu yang tersedia serta kondisi emergency kerap dijadikan alasan untuk pengambilan kebijakan berpotensi merusak dan melahirkan bencana baru.
Hal yang mengejutkan adalah hasil penelitian LIPI, 1,5 tahun paska bencana yang menemukan bahwa, ancaman riil bencana gempa dan tsunami tidak menjadikan Aceh berbenah dan bersiaga menghadapi ancaman bencana serupa yang telah menghancurkan dan menceraiberaikan banyak keluarga di Aceh.

Berbagai potensi yang sekarang hadir di Aceh untuk membangun kembali Aceh lebih dari cukup. Dengan ketersediaan dana yang sekarang tersedia sebesar Rp. 28,5 trilyun (diperkirakan lebih banyak lagi karena banyak dana-dana yang tidak tercatat), serta SDM dengan berbagai latar belakang yang mumpuni, Aceh telah siap dengan konsep baru sebuah daerah di Indonesia. Kebijakann baru, yang telah disahkan paling tidak cukup menjadi payung hukum memulai proses mewujudkan Aceh baru yang berperspektif lingkungan. Pengalaman pahit memulai dari titik 0 akibat bencana, Aceh harus menjadi contoh daerah yang mempunyai konsep pengelolaan risiko bencana. tidak hanya ditapak bencana, tapi juga di seluruh wilayah Aceh.


Isu Krusial Pengelolaan Lingkungan

Jauh sebelum kejadian bencana, persoalan lingkungan di Aceh cukup beragam. Kalau mau jujur, banyaknya korban jiwa akibat tsunami tidak lepas dari pengabaian karakteristik lingkungan yang menyimpan ancaman besar. Penataan dan pemanfaatan ruang adalah salah satunya. Penetapan tata ruang melalui peraturan daerah/qanun adalah dasar dalam memanfaatkan ruang tersedia. Pemanfaatan seharusnya didasarkan atas daya dukung dan berbagai pertimbangan lain, termasuk ancaman bencana. Data dan informasi Aceh berpotensi terhadap gempa dan tsunami telah ditangan pemda maupun pemerintah pusat serta akademisi. Namun tidak untuk masyarakat secara luas. Tidak dijadikan dasar (pengabaian) dalam pembangunan dan pengembangan kawasan menjadikan Aceh meningkat kerentanannya. Kondisi ini didukung berbagai kebijakan di tingkat local seperti IMBB sebagai syarat untuk mendirikan bangunan, alih fungsi lahan pesisir, maupun pelayanan publik yang mendorong terkonsentrasinya penduduk pada wilayah rawan bencana. Minimnya informasi dan berbagai upayan mitigasi dan kesiapsiagaan menjadikan rakyat Aceh pasrah menyerahkan nyawa dan harta.

Paska bencana, berbagai isu lingkungan menyertai dan bahkan cukup dominan. Penanganan bencana dimaksudkan meringankan atau mengangkat persoalan IDP’s untuk kembali hidup normal dan bermartabat. Dalam kontek hakiki, kehidupan tersebut harus berjangka panjang dan berkelanjutan. Artinya berbagai risiko dan dampak yang akan ditimbulkan dalam jangka pendek, menengah dan panjang harus dihilangkan atau paling tidak diminimalkan.
Pencamaran logam berat akibat naiknya berbagai matrial dari dasar laut ke daratan adalah salah satu yang perlu disikapi dengan baik. Kontaminasi terhadap tanah dan air yang langsung dimanfaatkan warga masyrakat akan berdampak dalam jangka panjang terhadap kehidupan masyarakat. Dari hasil riset yang dilakukan WALHI, Agustus – Oktober 2005 membuktikan beberapa daerah cukup tinggi pencemarannya seperti Aceh Utara, Lhoksuemawe, Aceh Besar, Banda Aceh, Aceh Jaya dan Aceh Barat. Perlu dilakukan upaya monitoring terhadap kualitas air khususnya untuk dikonsumsi air minum warga. Diluar untuk konsumsi adalah untuk budidaya pertanian yang berimplikasi pada kegagalan pertanian. Gagalnya penghijauan mangrove adalah salah satu contoh tidak dijadikan kontaminasi tanah dalam upaya tersebut. Dana bantuan untuk penanaman yang gagal, sekecil apapun sangat berarti.

Kebutuhan kayu untuk rekonstruksi cukup kuat mengemuka diawal proses rekonstruksi. Kebutuhan yang sangat besar (2,5 juta M3 kayu glondongan atau 1,5 M3 kayu olahan) akan merubah kawasan hutan menjadi lapangan. Berbagai solusi dimunculkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak tersebut. Disela perdebatan panjang, praktek illegal logging terus berlangsung di Aceh. Hasil investigasi WALHI pada bulan September di Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Aceh Selatan dan Aceh Besar jelas membuktikan bahwa praktek illegal logging yang melibatkan banyak pihak semakin brutal. Keterlibatan pejabat publik, tokoh masyarakat dan oknum penanggung jawab atas pengelolaan hutan serta penegak hukum menjadikan praktek illegal ini tidak tersentuh hukum. Ironisnya, kayu-kayu tersebut tidak untuki kebutuhan pembangunan Aceh. Bahkan kayu sitaan di Simeulue di lelang dan pemenang lelang yang tidak lain adalah si pelaku illegal logging untuk kepentingan eksport. Di lain sisi, kayu-kayu rampasan, sitaan dan temuan diberlakukan dalam kebijakan normal. sama sekali tidak terpikirkan memanfaatkan kayu2 tersebut untuk kebutuhan yang sangat besar untuk pembangunan kembali Aceh. berbagai usulan dari berbagai pihak untuk itu tidak mengusik Menteri Kehutanan, Wapres sebagai ketua BAKORNAS dan Presiden berpikir secara benar. Jawaban muncul justru dengan mengoperasionalkan kembali lima HPH dari 11 HPH di Aceh.

Kebutuhan lain yang sangat tinggi adalah hasil tambang galian C seperti pasir dan batu. Juga batu bata dan batu gamping. Penggalian pasir, batu dilakukan tanpa perencanaan dan ijin. Kebutuhan yang sangat besar dan mendesak, seakan memaksa permakluman. Bukti pasir pun rata bahkan meninggalkan lobang-lobang besar. Celakanya, daerah-daerah tersebut merupakan daerah tangkapan air dan merupakan daerah penyangga untuk wilayah bawahannya.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan adalah salah satu yang perlu mendapatkan perhatian besar. Hilangnya badan jalan karena erosi akibat gempuran tsunami memaksa untuk mendapatkan lahan baru. Persoalan muncul ketika perencanaan dan implemantasi. Jalan baru justru di arahkan pada hutan-hutan yang memiliki banyak tegakan. Pesta kayu pun di mulai. Tidak hanya lahan yang akan dijadikan jalan, tapi jauh masuk ke dalam hutan. Kondisi ini bisa dilihat di sepanjang jalan yang sedang dibuat di Aceh Jaya, Aceh Barat-banda Aceh. Pembangunan jalan dengan alasan membuka isolasi daerah pun ikut menumpang proses pembangunan kembali yang tidak lebih untuk memanfaatkan tegakan-tegakan kayu secara gratis.

Secara umum, pengelolaan lingkungan dalam proses penanganan bencana belum terintegrasi dengan baik. Penanganan lingkungan masih bersifat parsial. Seperti pesisir dan kelautan, hutan, atau pun DAS. Lingkungan belum ditempatkan sebagai bagian saling terkait sehingga perlu dikelola secara terintegrasi. Kawasan pesisir tentu tidak lepas dari kawasan di dataran tinggi. Sehingga apapun upaya yang dilakukan didataran rendah tidak mendapatkan hasil maksimal jika pengelolaan dataran tinggi tidak dilakukan. Persoalan justru muncul ketika proses pembangunan kembali hanya difokuskan di tapak-tapak bencana, yakni wilayah pesisir.


Ancaman Bencana Lain di Aceh

Ancaman bencana di Aceh tidak hanya gempa dan tsunami. 2 kali banjir bandang di Aceh Tenggara membuktikan kerentanan daerah tersebut. Longsor pun terjadi di Kecamatan Silihnara dan Kecamatan Syah Utama. Bahkan di wilayah-wilayah yang saat ini ditangani oleh banyak pihak, banjir genangan, baik akibat pasang air laut maupun banjir kiriman terjadi dimana-mana. Rumah-rumah penduduk yang telah kembali di bangun pun cukup banyak yang tergenang. Demikian juga dengan barak pengungsian. Banjir pun menyebabkan tanah pertanian penduduk tergenang dan gagal panen. Angin putting beliung beberapa kali memporak porandakan tenda-tenda pengungsi dan rumah penduduk.

Dari data kejadian bencana di Aceh selepas bencana gempa bumi dan tsunami saja telah tercatatan lebih dari 20 kali kejadian. Ironisnya, dari sekian lembaga dana, NGO’s dan BRR yang saat ini bekerja untuk pembangunan kembali Aceh tidak bergeming. Tidak tergelitik untuk bersama-sama menangani bencana yang terjadi. Atau idealnya melakukan kerja-kerja meminimalisasi risiko dan dampak bencana, melalui mitigasi atau kesiapsiagaan.
Pemanfaatan asset-aset alam yang tidak berimbang akan menciptakan luasan daerah rawan bencana. Eksploitasi SDA mineral (galian C, galian B), hutan, perkebunan, atau pembangunan infrastruktur yang tidak menempatkan lingkungan dan ancaman bencana akan menjadi daerah berbahaya sebagai tempat tinggal atau tempat usaha. Hilangnya daerah tangkapan air pun akan menghadiahi krisis air bersih saat musim kemarau.

Wabah penyakit pun perlu mendapatkan perhatian serius. Gizi buruk akibat kemiskinan serta ketidak adilan dalam mengakses SDA akan menjadi ancaman serius bagi pembangunan Aceh. Flu burung yang masih belum tuntas diatasi, demam berdarah, malaria serta muntaber adalah ancaman riil yang harus disikapi dengan baik bagi Aceh yang menduduki peringat ke 4 propinsi termiskin di Indonesia.

Ancaman bencana mengintai disetiap sudut bumi Aceh yang sedang berbenah dan membangun. Perspektif yang keliru akan menempatkan Aceh tidak lebih baik dalam jangka panjang. Pembangunan yang saat ini telah dilakukan akan kembali sia-sia. Sama halnya ketika pembangunan sebelum tsunami musnah dalam hitungan menit akibat gelombang pasang “SMONG” dan gempa susulan. Kerugian ditaksir mencapai US $ 4,9 milyar. Jika digabungkan dengan jiwa manusia yang meninggal, hilangnnya mata pencaharian, penderitaan yang diterima warga paska bencana, nilai kerugian tidak akan pernah terhitung. Sama halnya dengan kerugian yang dialami warga Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah dan Aceh Selatan akibat longsor. Aceh Jaya dan Aceh Barat, Aceh Besar dan Lhoksuemawe akibat banjir.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian juga adalah kualitas bangunan terbangun yang tidak layak. Bangunan yang tidak disesuaikan dengan ketahan menghadapi gempa. Kapasitas masyarakat yang tidak ditingkatkan menghadapi ancaman tsunami dan bencana lain yang telah terpetakan.

LAPINDO DAN KADO LUMPUR PANAS

0 comments
Jengkel rasanya ketika mendapatkan email tentang Lapindo. Sejagat Indonesia tercinta mengenal perusahaan penghasil Lumpur panas ini. kebobrokan dalam praktek ekploitasi SDA menguap begitu saja dengan kemirisan akibat ulahnya. Siswa yang tidak lagi bisa sekolah.. buruh dan karyawan yang tidak bisa lagi bekerja karena pabriknya ikut2an terendam, petani mempercepat panenannya dll… terlalu banyak dampak yang ditimbulkan akibat keceroban yang bermuara dari ketidak becusan termasuk pemerintah dalam pengawasan operasional perusahaan borok tersebut.

Memang bukan masalah baru kalau pengawasan ataupun keluarnya sebuah ijin hanya bersifat administrative. Jika hanya letupan kecil yang ditimbulkan, cing cai lah untuk diatasi. Tapi ketika berdampak luar biasa kayak Lumpur panas, siapa menyangka? Kasus yang memaksa negara mengambil alih penanganan, yang tentunya make duit rakyat lagi pun masih lom jelas juntrungnya.

Spekulasi berkembang menjadi karya-karya seolah ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan. Ya, dengan sedikit memolesnya, jadihal hayalan2 seolah layak dan bisa dijalankan. Menanami Lumpur dengan tanaman mangrove misalnya yang tertuang dalam gagasannya KLH dalam web site nya (buka deh sendiri di http://www.menlh.go.id/i/art/Buku%20Putih%20LUSI%20-%20draft%202.pdf). Atau menjadikan batu bata seperti yang selalu dipromosikan sang menteri. Banyak gagasan bermunculan sebagai bagian untuk penanggulangan bencana terdahsyat setelah Aceh akibat dari tsunami dan Jogja akibat gonjangan gempa 5,9 skala richter.

Lebih menjengkelkan adalah ketika justifikasi dengan dukungan para pakar untuk sebuah kebijakan. Membuang Lumpur ke laut misalnya. Karena banyaknya tentangan, penguat argumen pun menjadi lucu. “pilih ikan dan terumbu karang atau manusia?”. Dianggapnya, manusia Indonesia ini bego kali ye… tapi kalau dipikir2, yang bego itu si pengucap kalimat itu. Kebegoan sebagai pejabat publik dia ditunjukan lewat kalimat tidak logis itu. Sebuah pertanyaan atau pernyataan yang tidak perlu dijawab. Gak perlu karena gak perlu menjawab sebuah pertanyaan yang emang gak perlu dijawab, apalagi keluar dari mulut pajabat publik yang bego.

Dengan mengalirnya Lumpur yang ditutup2in bahanya bagi lingkungan karena berbagai kandungan yang ada, akan berdampak bagi kehidupan ribuan orang sampe Madura sana. Tidak hanya nelayan dan petambak tentunya yang memang langsung memanfaatkan SDA pesisir dan laut sebagai ladang kerjanya. Tapi juga para pedagang ikan di pasar, buruh2 angkut, toko perlengkapan alat tangkap ikan akan ikut merasakan ketika aktifitas nelayan dan tambak terganggu. Bahkan usaha pertamina jualan minyak dan gas pun ikut pula tergaggu. Bagaimana memberikan jaminan kepada kehidupan mereka atas pembuangan ke sungai dan laut tersebut?
Syukur alhamdulillah, KLH memasukan analisis tersebut dalam tulisannya di web site tersebut. Tapi mohon maaf, bisa apa atau punya kemampuan apa KLH untuk memberikan jaminan terhadap warga yang ikut menanggung dampak akibat dari kebangsatan PT LAPINDO BRANTAS tersebut? Menyeret orang2 yang paling bertanggung jawab atas bencana inipun tak mampu yang merupakan bagian dari tugas utamanya dia.

Bagaimana ya… la kalau dipikir2… kejadian ini pun gak lepas dari tanggung jawab KLH juga. Artinya, KLH seharusnya ikut bertanggung jawab karena ketidak becusannya menjalankan kewajiban mengemban mandat negara dalam bidang LH. Paling enggak dalam hal pengawasan. Kelalayan ini harusnya di tebus dengan sebuah hukuman yang setimpal. Kalau Dept. ESDM mah emang sudah seharusnya….
Tapi emang dasarnya gak punya malu para pejabat2 tersebut. Diantara tangis atas ketidak pastian hidup ribuan jiwa terkena dampak langsung atau tidak langsung… mereka itu kok masih bisa senyam senyum. Dan mempertahankan jabatannya seolah.. gak pernah merasa kalau itu semua akibat dari ketidak becusan mereka2 itu…

Mengakui kesalahan dan selanjutnya meletakan jabatan serta mau diproses secara hukum akibat kesalahannya agaknya cuma mimpi di negeri yang konon menjadikan hukum sebagai panglima. Toh, tidak lagi duduk dalam jabatan yang sekarang, terkurung dalam penjara bukan berarti dia gak berarti dia bisa mendukung upaya penanggulangan sebagai bentuk tebusan atas perbuatannya tersebut. Kalau emang gagasan2nya bisa membantu, kan bisa dijadikan dasar untuk memberian remisi juga.
Pemilik perusahaan pun harusnya ikut bertanggung jawab dong. Apakah karena dia duduk sebagai meteri, lalu gak bisa diapa2in?

Kebal hukum memang secara formal gak ada di republik ini. tapi secara fakta… berlaku. Siapa punya kekuasaan, entah karena jabatan, koneksi atau duit.. ilmu kebal itu pasti nempel dengan sendirinya. Gak perlu mantera apalagi pake bertapa dan puasa 41 hari tanpa makan minum. La wong para penak hukumnya lebih suka jual beli hukum kok…

Kejengkelan itu emang muncul akibat dari email pendek yang mendorong untuk membuka web site. Eh… kejengkelan itu makin bertambah2 ketika membaca kata perkata….
Ya.. memang… setiap bencana yang datang di republik bencana ini harus diterima dengan tabah dan lapang dada sebagai ujian Tuhan. Menunggu dengan sabar kebaikan dari rasa iba pemerintah yang selanjutnya menyalurkan santunannya. Namanya juga santunan.. ya gak boleh protes berapa pun yang diberikan. Termasuk harus bersandiwara mengikuti seremonial penyerahan pake nangis dan mengucapkan terimasih berulang2. Rela menahan lapar karena relawan yang menyalurkan nasi bungkus dilarang masuk areal karena kedatangan pejabat pemberi santunan….

SELAMAT DATANG BANJIR-LONGSOR……

0 comments
Geli rasanya menyaksikan iklan kreatif SAMPOERNA MILD tentang banjir. Setting film yang Jakarta banget pas dengan kondisi riil Jakarta yang langganan banjir. Tentu semua orang setuju… dengan pernyataan kritis.. Banjir kok menjadi tradisi..!!!!!

Beberapa bulan, atau bahkan hari ke depan, kita akan panen. Kata yang selalu dinantikan masyrakat petani untuk mendapatkan hasil jerih payah selama menanam dan mengurus tanaman pertaniannya. Kita masih bisa menyaksikan, atau paling tidak denger sekelompok komunitas masih mempertahankan tradisi menyambut masa panen atau setelah panen. Sebuah bentuk rasa syukur atas hasil yang didapat kepada Sang Pencipta. Orang dewasa dan anak-anak bersuka cita berbaur dalam serangkaian ritual adat.

Masa panen memang teramat menyenangkan. Itu pun dirasakan nelayan saat musim ikan tertentu, atau warga yang tinggal di pinggiran dan dalam hutan saat musim buah2an yang tersedia di dalam hutan. Panen pun dinantikan para warga kreatif yang memanfaatkan peluang yang disediakan waktu. Musim penerimaan siswa atau mahasiswa baru, penerimaan pegawai negeri/swasta, atau para pedagang disaat menyambut hari raya. Begitu indahnya kata panen di hati setiap orang. Sekalipun tidak menikmati secara langsung, namun paling tidak kita ikut merasa senang saat menyaksikan berita, mendengar cerita suka cita tersebut. Menyejukan hati….

Musim hujan bagi sebagian orang adalah masa untuk memulai pekerjaan. Menam bagi petani atau membenahi rumah bagi pekerja bangunan. Bagi sebagian anak-anak atau pemuda yang tidak mendapatkan kesempatan bekerja, akan dimanfaatkan untuk mengais rupiah menjual jasa payung atau mendorong mobil mogok karena tergenangnnya ruang jalan oleh air hujan. BANJIR….

Ya, musim hujan berbarti musim banjir. Buruknya tata ruang dan drainase serta pelanggaran-pelanggaran aturan satu dari sekian sebab maraknya banjir di Indonesia. Alih fungsi lahan, destructive logging, reklamasi pantai, pembangunan waduk/dam sampe pelurusan sungai sebagai project normalisasi sungai.

Banjir berarti bencana. sudah pasti… buat negeri bencana seperti Indonesia, sesedikit apapun pemicu seketika berubah menjadi bencana. Kepastian musim hujan akan terjadi banjir tidak dijadikan sebagai peringatan atau pelajaran untuk melakukan sesuatu yang signifikan. Menanggulangi atau mengurangi daya rusak banjir dan kerugian sebagai risiko bencana. atau… justru banjir sebagai momentum banyak kepentingan. Ekonomi, social-budaya dan politik

Musim hujan adalah musim banjir. Musim banjir berarti musim bencana. Ya, dimusim penghujan, dimana warning dari banyak pihak telah terlontarkan atas kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi dan harus dilakukan. BMG yang udah berani banget melontarkan kritik2 sebagai peringatkan kepada instansi teknis bersiap menghadapi curah hujan yang tinggi Januari – Februari. Juga memberingatkan timnas penanggulangan Lumpur panas lapindo untuk bersiap diri. Memperingatkan dept. kehutanan akan ancaman longsor di wilayah kerja mereka. Tapi apakah peringatan itu bener2 dijadikan acuan atau dasar kebijakan bagi yang berkepentingan?

Peta rawan bencana udah dibuat.. (katanya), tapi apakah sudah menjadi dasar untuk mereduksi risiko bencana yang mungkin terjadi. Sampai ke tangan warga yang tinggal dikawasan2 rentan. Sampai ditangan Pemda yang selanjutnya bergegas untuk melindungi segenap warganya untuk bersiaga. Menyiapkan system penanganan, cross check seluruh kekuatan yang dimiliki, termasuk kesiagaan yang sesungguhnya. Membenahi mekanisme pengelolaan pendanaan bencana dll. Rasa-rasanya kok belum ya….
Daerah bisa saja mempunyai post dana cukup untuk penanggulangan bencana. tapi kalau dikaitkan dengan potensi ancaman yang ada, apakah mencukupi untuk penanganan bencana tersebut?

Berapapun dana yang tersedia tidak akan pernah cukup untuk emergency response.. begitu kira2 komen banyak masyarakat atas penanganan bencana. Bisa iya, bisa tidak. Iya, karena memang pengelolaannya yang tidak efektif dan banyak bocor. Menjadi tidak kalau betul2 sudah ada system dan post nya serta didasarkan atas realitas. Paling enggak mendekati kerena disusun berdasarkan kebutuhan. Berapa jumlah penduduk, komposisinya, sebarannya, kondisi geografisnya, kebutuhan tersedia dll jelas akan membantu untuk menyiapkan kebutuhan. Komentar banyak warga tersebut yang jelas bisa dijadikan kritik dalam pengelolaan risiko bencana.

Pengeluaran yang sangat besar dalam response bencana akan sangat luar biasa. Tapi berbeda ketika dana tersebut justru dipostkan untuk berbagai upaya mitigasi dan kesiapsigaan sebagai bentuk preventif. Semua tahu dan pasti setuju kalau nyawa orang tidak lah seharga Rp, 2,5 juta sebagaimana santunan yang kerap diberikan pemerintah bagi korban meninggal. Atau 100 juta sebagaimana santunan asuransi atas kematian pengguna jasa asuransi.

SELAMAT DATANG HUJAN… SELAMAT DATANG MUSIM BANJIR DAN LONGSOR…. PANEN BENCANA SEGERA DATANG