MIMPI INDAH KEBERLANJUTAN KEHIDUPAN BERMARTABAT PASKA BENCANA TSUNAMI

Aceh begitu popular paska terjadinya tsunami akibat gempa berkekuatan 8,9 skala richter. Bencana yang mengakibatkan lebih dari 200.000 jiwa terenggut nyawanya dan menyisakan kurang lebih 1,5 juta jiwa sebagai pengungsi. Banyak versi mengenai jumlah korban jiwa akibat bencana habat tersebut. Pemerintah secara resmi mengumumkan data 126.915 jiwa, Dept. Kesehatan 173.941 jiwa.

Tiga bulan paska bencana, blue print sebagai kerangka acu pembangunan kembali tersusun. Kontra versi tentang proses dan substansi menjadikan blue print yang telah tersusun rapih berubah hanya berupa prinsip-prinsip dasar. Partisipasi masyarakat, karakteristik local serta berbagai analsis dampak jika terjadi pemaksaan penggunaan blue print sebagai guide line yang memang disusun tergesa-gesa han ya untuk memenuhi berbagai ketentuan tawaran bantuan dari luar negeri untuk proses pembangunan kembali. Justifikasi potong kompas yang kerap dilakukan diberbagai bidang.
P roses pembangunan kembali aceh akan memasuki tahun ke dua. Berbagai kritik terhadap kerja-kerja pembangunan kembali cukup terbuka. Korupsi merupakan isu yang paling kuat mengiringi proses penanganan bencana gempa dan tsunami ini. ketida k siapan system, sampai tingginya berbagai kebutuhan akibat permintaan yang melebihi ketersediaan barang dan jasa. Problem lain adalah persoalan lingkungan yang kerap disebut-sebut dalam berbagai kesempatan. Namun tidak pernah bisa dibuktikan dalam tataran implementasi.

Berbagai bencana lain yang mengiringi, baik langsung, penanganan IDP’s yang tidak memadai, atau bahkan buruk, pembangunan rumah dan infrastuktur serta fasilitas public maupun konsep makro yang terintegrasi dalam proses pembangunan kembali. Pemenuhan kebutuhan matrial seperti kayu, batu bata, batu kali, batu gamping, pasir misalnya untuk pembangunan fisik cenderung mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan. Alasan sempitnya waktu yang tersedia serta kondisi emergency kerap dijadikan alasan untuk pengambilan kebijakan berpotensi merusak dan melahirkan bencana baru.
Hal yang mengejutkan adalah hasil penelitian LIPI, 1,5 tahun paska bencana yang menemukan bahwa, ancaman riil bencana gempa dan tsunami tidak menjadikan Aceh berbenah dan bersiaga menghadapi ancaman bencana serupa yang telah menghancurkan dan menceraiberaikan banyak keluarga di Aceh.

Berbagai potensi yang sekarang hadir di Aceh untuk membangun kembali Aceh lebih dari cukup. Dengan ketersediaan dana yang sekarang tersedia sebesar Rp. 28,5 trilyun (diperkirakan lebih banyak lagi karena banyak dana-dana yang tidak tercatat), serta SDM dengan berbagai latar belakang yang mumpuni, Aceh telah siap dengan konsep baru sebuah daerah di Indonesia. Kebijakann baru, yang telah disahkan paling tidak cukup menjadi payung hukum memulai proses mewujudkan Aceh baru yang berperspektif lingkungan. Pengalaman pahit memulai dari titik 0 akibat bencana, Aceh harus menjadi contoh daerah yang mempunyai konsep pengelolaan risiko bencana. tidak hanya ditapak bencana, tapi juga di seluruh wilayah Aceh.


Isu Krusial Pengelolaan Lingkungan

Jauh sebelum kejadian bencana, persoalan lingkungan di Aceh cukup beragam. Kalau mau jujur, banyaknya korban jiwa akibat tsunami tidak lepas dari pengabaian karakteristik lingkungan yang menyimpan ancaman besar. Penataan dan pemanfaatan ruang adalah salah satunya. Penetapan tata ruang melalui peraturan daerah/qanun adalah dasar dalam memanfaatkan ruang tersedia. Pemanfaatan seharusnya didasarkan atas daya dukung dan berbagai pertimbangan lain, termasuk ancaman bencana. Data dan informasi Aceh berpotensi terhadap gempa dan tsunami telah ditangan pemda maupun pemerintah pusat serta akademisi. Namun tidak untuk masyarakat secara luas. Tidak dijadikan dasar (pengabaian) dalam pembangunan dan pengembangan kawasan menjadikan Aceh meningkat kerentanannya. Kondisi ini didukung berbagai kebijakan di tingkat local seperti IMBB sebagai syarat untuk mendirikan bangunan, alih fungsi lahan pesisir, maupun pelayanan publik yang mendorong terkonsentrasinya penduduk pada wilayah rawan bencana. Minimnya informasi dan berbagai upayan mitigasi dan kesiapsiagaan menjadikan rakyat Aceh pasrah menyerahkan nyawa dan harta.

Paska bencana, berbagai isu lingkungan menyertai dan bahkan cukup dominan. Penanganan bencana dimaksudkan meringankan atau mengangkat persoalan IDP’s untuk kembali hidup normal dan bermartabat. Dalam kontek hakiki, kehidupan tersebut harus berjangka panjang dan berkelanjutan. Artinya berbagai risiko dan dampak yang akan ditimbulkan dalam jangka pendek, menengah dan panjang harus dihilangkan atau paling tidak diminimalkan.
Pencamaran logam berat akibat naiknya berbagai matrial dari dasar laut ke daratan adalah salah satu yang perlu disikapi dengan baik. Kontaminasi terhadap tanah dan air yang langsung dimanfaatkan warga masyrakat akan berdampak dalam jangka panjang terhadap kehidupan masyarakat. Dari hasil riset yang dilakukan WALHI, Agustus – Oktober 2005 membuktikan beberapa daerah cukup tinggi pencemarannya seperti Aceh Utara, Lhoksuemawe, Aceh Besar, Banda Aceh, Aceh Jaya dan Aceh Barat. Perlu dilakukan upaya monitoring terhadap kualitas air khususnya untuk dikonsumsi air minum warga. Diluar untuk konsumsi adalah untuk budidaya pertanian yang berimplikasi pada kegagalan pertanian. Gagalnya penghijauan mangrove adalah salah satu contoh tidak dijadikan kontaminasi tanah dalam upaya tersebut. Dana bantuan untuk penanaman yang gagal, sekecil apapun sangat berarti.

Kebutuhan kayu untuk rekonstruksi cukup kuat mengemuka diawal proses rekonstruksi. Kebutuhan yang sangat besar (2,5 juta M3 kayu glondongan atau 1,5 M3 kayu olahan) akan merubah kawasan hutan menjadi lapangan. Berbagai solusi dimunculkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak tersebut. Disela perdebatan panjang, praktek illegal logging terus berlangsung di Aceh. Hasil investigasi WALHI pada bulan September di Aceh Tenggara, Aceh Singkil, Aceh Selatan dan Aceh Besar jelas membuktikan bahwa praktek illegal logging yang melibatkan banyak pihak semakin brutal. Keterlibatan pejabat publik, tokoh masyarakat dan oknum penanggung jawab atas pengelolaan hutan serta penegak hukum menjadikan praktek illegal ini tidak tersentuh hukum. Ironisnya, kayu-kayu tersebut tidak untuki kebutuhan pembangunan Aceh. Bahkan kayu sitaan di Simeulue di lelang dan pemenang lelang yang tidak lain adalah si pelaku illegal logging untuk kepentingan eksport. Di lain sisi, kayu-kayu rampasan, sitaan dan temuan diberlakukan dalam kebijakan normal. sama sekali tidak terpikirkan memanfaatkan kayu2 tersebut untuk kebutuhan yang sangat besar untuk pembangunan kembali Aceh. berbagai usulan dari berbagai pihak untuk itu tidak mengusik Menteri Kehutanan, Wapres sebagai ketua BAKORNAS dan Presiden berpikir secara benar. Jawaban muncul justru dengan mengoperasionalkan kembali lima HPH dari 11 HPH di Aceh.

Kebutuhan lain yang sangat tinggi adalah hasil tambang galian C seperti pasir dan batu. Juga batu bata dan batu gamping. Penggalian pasir, batu dilakukan tanpa perencanaan dan ijin. Kebutuhan yang sangat besar dan mendesak, seakan memaksa permakluman. Bukti pasir pun rata bahkan meninggalkan lobang-lobang besar. Celakanya, daerah-daerah tersebut merupakan daerah tangkapan air dan merupakan daerah penyangga untuk wilayah bawahannya.
Pembangunan infrastruktur seperti jalan adalah salah satu yang perlu mendapatkan perhatian besar. Hilangnya badan jalan karena erosi akibat gempuran tsunami memaksa untuk mendapatkan lahan baru. Persoalan muncul ketika perencanaan dan implemantasi. Jalan baru justru di arahkan pada hutan-hutan yang memiliki banyak tegakan. Pesta kayu pun di mulai. Tidak hanya lahan yang akan dijadikan jalan, tapi jauh masuk ke dalam hutan. Kondisi ini bisa dilihat di sepanjang jalan yang sedang dibuat di Aceh Jaya, Aceh Barat-banda Aceh. Pembangunan jalan dengan alasan membuka isolasi daerah pun ikut menumpang proses pembangunan kembali yang tidak lebih untuk memanfaatkan tegakan-tegakan kayu secara gratis.

Secara umum, pengelolaan lingkungan dalam proses penanganan bencana belum terintegrasi dengan baik. Penanganan lingkungan masih bersifat parsial. Seperti pesisir dan kelautan, hutan, atau pun DAS. Lingkungan belum ditempatkan sebagai bagian saling terkait sehingga perlu dikelola secara terintegrasi. Kawasan pesisir tentu tidak lepas dari kawasan di dataran tinggi. Sehingga apapun upaya yang dilakukan didataran rendah tidak mendapatkan hasil maksimal jika pengelolaan dataran tinggi tidak dilakukan. Persoalan justru muncul ketika proses pembangunan kembali hanya difokuskan di tapak-tapak bencana, yakni wilayah pesisir.


Ancaman Bencana Lain di Aceh

Ancaman bencana di Aceh tidak hanya gempa dan tsunami. 2 kali banjir bandang di Aceh Tenggara membuktikan kerentanan daerah tersebut. Longsor pun terjadi di Kecamatan Silihnara dan Kecamatan Syah Utama. Bahkan di wilayah-wilayah yang saat ini ditangani oleh banyak pihak, banjir genangan, baik akibat pasang air laut maupun banjir kiriman terjadi dimana-mana. Rumah-rumah penduduk yang telah kembali di bangun pun cukup banyak yang tergenang. Demikian juga dengan barak pengungsian. Banjir pun menyebabkan tanah pertanian penduduk tergenang dan gagal panen. Angin putting beliung beberapa kali memporak porandakan tenda-tenda pengungsi dan rumah penduduk.

Dari data kejadian bencana di Aceh selepas bencana gempa bumi dan tsunami saja telah tercatatan lebih dari 20 kali kejadian. Ironisnya, dari sekian lembaga dana, NGO’s dan BRR yang saat ini bekerja untuk pembangunan kembali Aceh tidak bergeming. Tidak tergelitik untuk bersama-sama menangani bencana yang terjadi. Atau idealnya melakukan kerja-kerja meminimalisasi risiko dan dampak bencana, melalui mitigasi atau kesiapsiagaan.
Pemanfaatan asset-aset alam yang tidak berimbang akan menciptakan luasan daerah rawan bencana. Eksploitasi SDA mineral (galian C, galian B), hutan, perkebunan, atau pembangunan infrastruktur yang tidak menempatkan lingkungan dan ancaman bencana akan menjadi daerah berbahaya sebagai tempat tinggal atau tempat usaha. Hilangnya daerah tangkapan air pun akan menghadiahi krisis air bersih saat musim kemarau.

Wabah penyakit pun perlu mendapatkan perhatian serius. Gizi buruk akibat kemiskinan serta ketidak adilan dalam mengakses SDA akan menjadi ancaman serius bagi pembangunan Aceh. Flu burung yang masih belum tuntas diatasi, demam berdarah, malaria serta muntaber adalah ancaman riil yang harus disikapi dengan baik bagi Aceh yang menduduki peringat ke 4 propinsi termiskin di Indonesia.

Ancaman bencana mengintai disetiap sudut bumi Aceh yang sedang berbenah dan membangun. Perspektif yang keliru akan menempatkan Aceh tidak lebih baik dalam jangka panjang. Pembangunan yang saat ini telah dilakukan akan kembali sia-sia. Sama halnya ketika pembangunan sebelum tsunami musnah dalam hitungan menit akibat gelombang pasang “SMONG” dan gempa susulan. Kerugian ditaksir mencapai US $ 4,9 milyar. Jika digabungkan dengan jiwa manusia yang meninggal, hilangnnya mata pencaharian, penderitaan yang diterima warga paska bencana, nilai kerugian tidak akan pernah terhitung. Sama halnya dengan kerugian yang dialami warga Aceh Tenggara, Bener Meriah, Aceh Tengah dan Aceh Selatan akibat longsor. Aceh Jaya dan Aceh Barat, Aceh Besar dan Lhoksuemawe akibat banjir.
Hal lain yang perlu mendapatkan perhatian juga adalah kualitas bangunan terbangun yang tidak layak. Bangunan yang tidak disesuaikan dengan ketahan menghadapi gempa. Kapasitas masyarakat yang tidak ditingkatkan menghadapi ancaman tsunami dan bencana lain yang telah terpetakan.

0 Response to "MIMPI INDAH KEBERLANJUTAN KEHIDUPAN BERMARTABAT PASKA BENCANA TSUNAMI"