
Sampai saat ini, aku selalu merindukan Jogja. Tak salah kiranya Katon Kla Project menuangkan kerinduannya lewat syair “Jogjakarta”. Tak salah pula banyak wong Jogja rela bolak balik Jogja – Jakarta setiap Jumat sore dan kembali ke Jakarta minggu malam mempertahankan keluarganya di sana. Jogja memang menawarkan sejuta kedamaian.
Namun, julukan2 tersebut sedikit terbiaskan…
Terbiaskan dengan berbagai ego dan kepentingan jangka pendek. Kota pelajar yang ramah, siap menyambut seluruh masyarakat mulai bergeser. Kampus-kampus mulai memagari diri. Menunjukan kekuasaannya sebagai penguasa. Alasan tak logis pun dilogis2kan. Pasti… dan yakin sekali wong jogja setuju deh (lang wong ini sempet jadi rasan2 buanyak orang jogja dan orang2 yang numpang sementara tinggal di jogja). Ketika UGM, kampus yang katanya kampus rakyat, milik masyarakat gak cuma jogja, yang hanya dikasih pinjem tanahnya sama Kraton Jogja menutup akses jalan umum. Bak sekolah swasta yang memeng beli tanah sendiri, UGM mengatur jalan-jalan yang dibangun dari uang negara. Gerbang pun di buat dan di tutup untuk umum. Sebelumnya, pedagang kaki lima di minta hengkang dari wilayah Kampus.
Alasan klasik dari pihak pengelola, menjaga keamanan kampus. Mejaga ketenangan proses perkuliahan.
Gak cukup itu saja. Kampus yang gak pernah membuat perencanaan kawasan ini juga mulai membangun. Bahkan membangun mall, tanpa AMDAL pula. Lho..???? bukankah mereka banyak meluluskan para penyusun dan penilai AMDAL. Iya, itu urusan bisnis lain kawan…
Masih kurang, bersama Bupati penguasa wilayah Sleman, jalan protocol yang saat ini dikelola propinsi di minta. So pasti, jalan utama ini pun akan ditutup juga.
Hebat kan….
Kota pelajar sebagai gudang ilmuan ini memang harus legowo melepaskan julukannya. Bagaimana tidak, la saat gempa memporak porandakan separo jogja adalah bukti, bahwa julukan itu memang gak lagi pantas bersandar di sana. Duluuuuu… mungkin iya. Disaat para dosen, guru dan mahasiswanya bener2 menerapkan ilmu yang dimilikinya untuk kepentingan rakyat. La emang sekarang ilmu itu buat siapa? Siapa lagi kalau bukan untuk kepentingan bisnis… untuk mendapatkan uang dan materi sebanyak2nya. Liat aja rector yang minta gaji dan tunjangan gila2an. Sampe2 di demo sama staff dan dosennya sendiri. Menjadi konsultan AMDAL dan konsultan lainnya… hanya untuk justifikasi ilmiah, justifikasi akademis kalau bisnis itu sah adanya. Udah diteliti sama pakarnya je.. gelarnya aja lebih panjang dari namanya. Masih meragukan kapasitas mereka sebagai konsultan??

Iya.. Jogja yang sebetulnya menyimpan ancaman bencana terabaikan. Banyaknya ilmuan dari kampus2 dan sekolah2 tidak mampu menginformasikan dan menyadarkan warga jogja untuk bersiaga. Jutaan mahasiswa yang diterjunkan lewat paket2 kampus, ya KKN, PKL dll terbukti cuma untuk memenuhi syarat akademisi. Penelitian para dosen pun cuma untuk mengejar kedudukan. Dan kepintaran para birokrat pun terbutakan oleh kepentingan jangka pendek.

Herannya, toh kita masih percaya ya sama mereka2 itu. Padahal.. ngapain aja mereka selama ini. Mereka melanglang buana jualan ilmunya, sampe ke peloksok negeri ini. tapi daerah sendiri gak keurus. Bukankah hancurnya Jogja oleh gonjangan bumi 5,9 SR adalah buah karya mereka juga. Ya, data dan informasi yang mereka genggam jauuuh hari sebelum kejadian memilukan itu untuk apa? Ketika Bupati Bantul meminta justifikasi perubahan piyungan menjadi kawasan industri, padahal tahu kalau daerah disana rentan terhadap bencana. Kemana suara mereka, apa peran para ilmuan kebumian, budaya, social dll. Diam membisu. Sibuk mengerjakan proyek2 penelitian sampe ke ujung papua.
Dominasi itu kembali ditunjukan. Bak dewa penyelamat, kembali mereka menebar pesona. Menyeruak diantara kesibukan memulihkan dan membangun kembali Jogja. Gelar yang melekat erat di depan atau belakang namanya.. menjadi ajimat yang sangat ampuh. Seampuh keris empu gandring milik Ken Arok.

10:47 AM
amienn semoga saja ..
10:48 AM
meringis pun mengiris :D
10:11 AM
yogya oh yogya.....