Jogja ku yang meringis...

Jogja memang begitu damai. Semua pasti setujua kalau berbagai julukan untuk propinsi yang pernah jadi ibu kota sementara Indonesia tepat. Kota gudeg, karena memang makanan khas banyak disukai. Kota pelajar, tepat juga. Ratusan perguruan tinggi, sekolah menengah sampe tempat kursus menjamur. Boleh di bilang, setiap dusun pasti ada pusat belajar. Kota budaya… mmm.. kayaknya ini banyak makna. Bisa jadi karena Jogja sampai saat ini masih kokoh memegang tradisi yang ada. Bahkan, di Nusantara ini, kepatuhan terhadap Raja hanya di jogja yang masih mengakar sangat kuat. Makna lain, bisa jadi sebagai kota pelajar akhirnya mengundang seluruh para penduduk negeri kepulauan ini datang untuk sekolah. Jadilah Jogja sebagai miniatur Indonesia. Makna lain bisa juga karena peninggalan2 budaya yang ada di sana. Dari mulai candi2, bangunan tua jaman belanda sampe alat2 perang dan alat dapur. Ya… Jogja memang luar biasa.

Sampai saat ini, aku selalu merindukan Jogja. Tak salah kiranya Katon Kla Project menuangkan kerinduannya lewat syair “Jogjakarta”. Tak salah pula banyak wong Jogja rela bolak balik Jogja – Jakarta setiap Jumat sore dan kembali ke Jakarta minggu malam mempertahankan keluarganya di sana. Jogja memang menawarkan sejuta kedamaian.

Namun, julukan2 tersebut sedikit terbiaskan…
Terbiaskan dengan berbagai ego dan kepentingan jangka pendek. Kota pelajar yang ramah, siap menyambut seluruh masyarakat mulai bergeser. Kampus-kampus mulai memagari diri. Menunjukan kekuasaannya sebagai penguasa. Alasan tak logis pun dilogis2kan. Pasti… dan yakin sekali wong jogja setuju deh (lang wong ini sempet jadi rasan2 buanyak orang jogja dan orang2 yang numpang sementara tinggal di jogja). Ketika UGM, kampus yang katanya kampus rakyat, milik masyarakat gak cuma jogja, yang hanya dikasih pinjem tanahnya sama Kraton Jogja menutup akses jalan umum. Bak sekolah swasta yang memeng beli tanah sendiri, UGM mengatur jalan-jalan yang dibangun dari uang negara. Gerbang pun di buat dan di tutup untuk umum. Sebelumnya, pedagang kaki lima di minta hengkang dari wilayah Kampus.
Alasan klasik dari pihak pengelola, menjaga keamanan kampus. Mejaga ketenangan proses perkuliahan.

Gak cukup itu saja. Kampus yang gak pernah membuat perencanaan kawasan ini juga mulai membangun. Bahkan membangun mall, tanpa AMDAL pula. Lho..???? bukankah mereka banyak meluluskan para penyusun dan penilai AMDAL. Iya, itu urusan bisnis lain kawan…
Masih kurang, bersama Bupati penguasa wilayah Sleman, jalan protocol yang saat ini dikelola propinsi di minta. So pasti, jalan utama ini pun akan ditutup juga.
Hebat kan….

Kota pelajar sebagai gudang ilmuan ini memang harus legowo melepaskan julukannya. Bagaimana tidak, la saat gempa memporak porandakan separo jogja adalah bukti, bahwa julukan itu memang gak lagi pantas bersandar di sana. Duluuuuu… mungkin iya. Disaat para dosen, guru dan mahasiswanya bener2 menerapkan ilmu yang dimilikinya untuk kepentingan rakyat. La emang sekarang ilmu itu buat siapa? Siapa lagi kalau bukan untuk kepentingan bisnis… untuk mendapatkan uang dan materi sebanyak2nya. Liat aja rector yang minta gaji dan tunjangan gila2an. Sampe2 di demo sama staff dan dosennya sendiri. Menjadi konsultan AMDAL dan konsultan lainnya… hanya untuk justifikasi ilmiah, justifikasi akademis kalau bisnis itu sah adanya. Udah diteliti sama pakarnya je.. gelarnya aja lebih panjang dari namanya. Masih meragukan kapasitas mereka sebagai konsultan??

Masih ingat dengan polemik Taman Nasional Gunung Merapi, AMDAL aqua, atau AMDAL kawasan industri piyungan. Bebekal itu, kawasan piyungan yang rentan terhadap bencana pun disulap melalui Perda kab. Bantul menjadi kawasan Industri. Saat gempa 27 Mei baru kita percaya, kalau warning dari banyak pihak, dari dosen2 yang masih lurus pikirannya, dari para aktifis Ornop yang belum terbeli proyek2 pemerintah, dari semua yang peduli terhadap lingkungan dan keselamatan warga.

Iya.. Jogja yang sebetulnya menyimpan ancaman bencana terabaikan. Banyaknya ilmuan dari kampus2 dan sekolah2 tidak mampu menginformasikan dan menyadarkan warga jogja untuk bersiaga. Jutaan mahasiswa yang diterjunkan lewat paket2 kampus, ya KKN, PKL dll terbukti cuma untuk memenuhi syarat akademisi. Penelitian para dosen pun cuma untuk mengejar kedudukan. Dan kepintaran para birokrat pun terbutakan oleh kepentingan jangka pendek.

Jogja menangis.. Jogja terpuruk.. Jogja yang menawarkan kedamaian sehingga dirindukan jutaan orang terkulai lemas hanya lewat satu geliat bumi. Kesombongan atas kesiapan menghadapi ancaman bencana hanya sekedar omong kosong. Ratusan pakar pun diam membisu sesaat. Cuma sesaat… karena dengan kecerdikannya, kembali bersuara bak orator ulung. Kembali mengeluarkan analisis dan teori2nya untuk membangun kembali.

Herannya, toh kita masih percaya ya sama mereka2 itu. Padahal.. ngapain aja mereka selama ini. Mereka melanglang buana jualan ilmunya, sampe ke peloksok negeri ini. tapi daerah sendiri gak keurus. Bukankah hancurnya Jogja oleh gonjangan bumi 5,9 SR adalah buah karya mereka juga. Ya, data dan informasi yang mereka genggam jauuuh hari sebelum kejadian memilukan itu untuk apa? Ketika Bupati Bantul meminta justifikasi perubahan piyungan menjadi kawasan industri, padahal tahu kalau daerah disana rentan terhadap bencana. Kemana suara mereka, apa peran para ilmuan kebumian, budaya, social dll. Diam membisu. Sibuk mengerjakan proyek2 penelitian sampe ke ujung papua.

Dominasi itu kembali ditunjukan. Bak dewa penyelamat, kembali mereka menebar pesona. Menyeruak diantara kesibukan memulihkan dan membangun kembali Jogja. Gelar yang melekat erat di depan atau belakang namanya.. menjadi ajimat yang sangat ampuh. Seampuh keris empu gandring milik Ken Arok.

Bisakah Jogja lebih baik dalam proses pembangunan kembali paska bencana dahsyat ini. Keraguan2 sudah mulai muncul. Hiruk pikuk tanpa ritme saat penanganan darurat masih masih terus berlanjut. Keberpihakan terhadap masyarakat masih jauh dari harapan. Keberpihakan masih lebih dekat dengan kekuasaan dan materi. 15 juta untuk warga : 2 juta perbulan untuk para fasilitator. Entah berapa yang dikantongi para konsultan2. Tidak ada upaya yang sungguh2 untuk mendapatkan lebih sebagaimana dijanjikan Sang Kalla. Tidak juga upaya lain agar warga terkena dampak bencana lebih bisa hidup bermartabat. Sebagai mana mandat dan janji negeri saat berani memerdekakan diri….

3 Response to "Jogja ku yang meringis..."

  1. Hijau Says:

    amienn semoga saja ..

  2. Hijau Says:

    meringis pun mengiris :D

  3. Kali Jogo Says:

    yogya oh yogya.....