MENGELOLA RISIKO BENCANA III

Tatang pun menulis sepucuk surat kepada orang tuanya.. yang hanya seorang petani. Petani yang lahannya mulai menyempit karena terpaksa harus dijual atau digadaikan untuk membiayai dia sekolah. Sudah bergulung2 kertas menghiasi kamar kosnya yang sempit. selesai menulis, dibaca... terlalu sulit di pahami, diulang lagi dengan kertas yang baru.. Jam weker pun telah menunjukan angka 3.45 wib. "gila", gerundelnya dalam hati... begitu sulitnya menjelaskan apa yang ada di kepala melalui tulisan. Seandainya.. kembali lamunan dia menembus batas2 normalitas. bisa terbang, menjadi orang kaya atau semua yang memungkinkan dia bisa bertemu langsung dengan orang tuanya, saudara2nya di kampung nun jauh di mato..

SULIT... Pasti dong... Selalu ada kendala untuk memulai sesuatu. Sama halnya anak kambing yang jatuh bangun disaat belajar berjalan, beberapa saat setelah keluar dari rahim sang induk. Tidak berbeda saat kita belajar membaca, menghitung atau membuat teh manis pertama kali. Proses dan cara.. Dibutuhkan informasi untuk mengerjakan sesuatu. tapi secara alamiah pun, semua memiliki pola adaptasi. ya seperti anak kambing itu contohnya. atau.... tanaman yang kita paksa masuk ke dalam pot...

Informasi dan cara.. itu penting. Lalu, bagaimana bisa mentranformasikan informasi dan cara tersebut tanpa kehadiran fisik? faktanya, terlalu besar gep antara yang paham luar dalam CBDRM dengan jumlah penduduk sangat besar. 220 juta penduduk indonesia, jika yang tahu cuma 10 % saja, udah kesulitan. Apalagi kalau disandingkan juga dengan keberadaan penduduk yang menyebar dan minim fasilitas. Terpencil di kaki gunung, di pulau2 kecil atau dibelantara hutan. Sementara, kerawanan kawasan yang tinggi di Republik Bencana ini adalah fakta adanya.

Menjelang subuh, senyum tatang mengembang. "Hah", nafas dia pun menghembus deras membuang beban yang menyelimuti pikirannya. dari beratus2 kata, berlembar2 kertas yang gagal.. ditemukan sebuah kata yang singkat dan menurut pikirannya mudah dipahami sang ayah. Intinya adalah meminta ayahnya untuk waspada atas kemungkinan datangnya bencana. meminta ayahnya mencari tahu tentang sumber2 ancaman, bertanya tentang kejadian yang mungkin pernah terjadi dan meminta ayahnya mencari tahu ke pemerintah setempat. (surat tatang kepada ayahnya... akan ditambilkan dalam Mengelola risiko bencana IV)

Tatang mampu menyelesaikan surat melalui proses alamiah. Menulis, membaca ulang, berpikir, menuliskan lagi, baca ulang, analisis.. dan akhirnya menemukan apa yang diharapkannya. Dan surat yang dikirimkan kepada ayahnya, adalah sebuah cara untuk memulai mengelola risiko bencana berbasis masayarakat. Namun, bukan berarti tidak ada lagi masalah dalam proses pelaksanaannya. Belum tentu sang ayah percaya. Sekalipun percaya, belum tentu dijalankan dengan berbagai alasan. Sibuk, sungkan bertemua dengan borokrat atau.. bukan ditempatkan bukan prioritas..

Ketika Ayah Tatang, mulai melakukan apa yang disampaikan tatang. Mulai memetakan sumber2 ancaman, menemui birokrat desa, berdiskusi dengan tetangga... belum tentu juga ada respon positif dan segera ditindak lanjuti. Nah, disini... dibutuhkan kesabaran, keuletan, dan keberanian untuk terus bergerak. Bukan hanya bergerak2 saja. Tapi bergerak maju dan berkembang.

Namun hal yang menjadi catatan adalah...
Semua orang bisa memulai mengelola resiko bencana. Melakukan berbagai upaya untuk mengurangi (mereduksi) risiko dan dampak dari sebuah kejadian sehingga tidak menjadi bencana. Tidak harus dengan tangannya sendiri, tapi berbagi peran, berbagi kerja untuk mencapai sebuah tujuan bersama.
Mengelola bencana bukan dimulai setelah bencana itu terjadi.. Mengelola bencana harus sudah dimulai jauuuuuh sebelum sebuah kejadian dapat menjadi bencana.

he... he... bersambung lagi ya.... ke bagian IV

0 Response to "MENGELOLA RISIKO BENCANA III"