KAWASAN KONSERVASI, SEBUAH ANGAN2

Suradji begitu serius mendengarkan penuturan seorang aktifis yang begitu berapi2 menjelaskan risiko dan dampak jika sebuah kawasan dijadikan Taman Nasional (TN). Bersama puluhan warga dusun2 seputar lereng Merapi, di sore yang mulai dingin berlapis kebut tipis, mereka berdiskusi tentang rencana penetapan lereng Merapi dan Merbabu menjadi TN.

Hanya sebagian kecil mereka yang tahu informasi terkait rencana tersebut. Informasi pun jauh berbeda. ini pula yang menyebabkan mereka lebih serius menyimak. Apalagi beberapa contoh kekerasan, bahkan yang menyebabkan kematian disampaikan dengan detil. Kekerasan yang dilegalkan atas nama kawasan konservasi. Informasi beberapa aktivis yang sebelumnya telah mereka kenal. Mereka telah berkawan cukup lama untuk berbagai kegiatan di kawasan yang dibagi menjadi 4 wilayah administrative ini.

Kondisi ini terjadi hampir di seluruh Indonesia tercinta ini. Warga tidak mengetahui informasi apa2. Bahkan untuk beberapa kawasan, perubahan status hanya diketahui beberapa gelintir pejabat saja. Dan waktu nya pun sangat cepat.TN Batang Gadis misalnya. Hanya 3 bulan proses penetapan kawasan seluas 361.885 ha. Demikian juga dengan TN Ciremai di Jawa Barat.

Perubahan beberapa kawasan menjadi TN secara cepat tidak lepas dari sesumbar Dept. Kehutanan atas nama pemerintah Indonesia mewujudkan 1 juta hektar kawasan konservasi kepada dunia internasional. Sesumbar tersebut tentu tidak datang dengan sendirinya. Berbagai tawaran telah masuk ke meja dept. yang bertanggung jawab mengurus seluruh hutan di Indonesia. Tawaran berupa hibah sampai hutang. Rencana tersebut, paling tidak juga untuk menutup noda hitam Indonesia sebagai negara perusak hutan.


DIMANA SIH AKAR MASALAHNYA…

Pokok persoalan pengelolaan kawasan adalah terpurusnya hubungan harmonis antara kawasan itu sendiri dengan manusianya. Harmonisasi perlu diciptakan, ketika ada pihak ketiga terlibat dalam pola hubungan yang sudah tercipta sebelumnya.
Jauh sebelum negeri ini sesak dengan manusia, ketika hutan, gunung, lautan dan sungai2 masih sederhana dikelola karena seluruh kebutuhan manusia dapat terpenuhi dari alam, ketika negara hanya menguasai hanya beberapa petak lahan, ketika adat dan tradisi dan aturannya dipatuhi… tidak begitu banyak persoalan seputar pengelolaan kawasan. Masing-masing menjalankan fungsinya. Orang yang ditugaskan menjaga hutan menjalankan fungsinya dengan baik dengan segenap aturan. Demikian juga orang yang diserahi tugas mengatur tata air, administrasi warga masyarakat dll.

Perubahan signifikan mulai terjadi ketika system local diintervensi pihak luar yang melihat potensi yang terkandung di dalamnya. Intervensi dengan maksud mengusai dan mendapatkan keuntungan, pribadi, kelompok atau golongan, entah itu orang berduit, perusahaan atau negara. Masa penjajahan fisik dituduh sebagai awal dari itu semua. Padahal, sebelum bangsa Eropa masuk dan menguasai hampir seluruh nusantara ini, bangsa kita yang masih dikuasai negeri2 kecil saling mencaplok wilayah lain untuk dikuasai.

Dari sisi kebijakan, kita harus jujur kalau berbagai produk hukum kita lebih mengadopsi produk hukum luar, khususnya Belanda. Tapi khusus untuk TN, diambil dari amrik. Konsep pengelolaan mengadopsi system pengelolaan kawasan Yellow stone. Sedangkan Cagar alam, suaka margasatwa, atau perhutani mah jelas2 peninggalan Belanda. Sekalipun telah dimodifikasi produk local, namun jika kita jujur kembali, produk tersebut pun import juga.

Pengikisan kultur local dilakukan secara sistematis. Dari mulai memunculkan image "kuno", "primitive", "udik", "kampungan" sampe masyarakat terbelakang. Opini2 tesebut secara pasti menghegemoni pemikiran masyarakat secara umum. Kebijakan pun ikut mempercepat runtuhnya kearifan local. Diversifikasi pangan runtuh dengan berasisasi dan penilaian daerah terbelakang yang salah satu indikatornya adalah jenis makanan pokok. Kearifan dalam menjalankan kehidupan pun semakin terkapar tanpa daya oleh hantaman pola konsumtif.

JASA-JASA KAWASAN DAN KEHANCURAN

Telah ratusan sarjana, master atau doctor terlahir dari sebuah kawasan. Merapi, Ujung Kulon, Wakatobi, Bunaken dll. Telah milyaran rupiah pula dana yang dihasilkan kawasan2 penting tersebut. Tidak hanya hasil langsung, misalnya pasir merapi yang terkenal, atau keindahan alam melalui paket-paket wisata. Mengatasnamakan kemiskinan, pengembangan masyarakat, ancaman erupsi atau lainnya pun menghasilkan ratusan milyar, dari hibah, uang pajak sampai hutang luar negeri.

Ego kekuasaan, kepakaran, atau kedudukan membutakan realitas. Ini lah yang terjadi di negeri mega biodiversity. Bukti2 kongkrit eksistensi dengan system local tidak pernah diakui. Masyarakat Baduy, suku Naga dan masyarakat adat Tenganan adalah salah satunya dalam kontek hutan. Tidak banyak intervensi negara dalam pengelolaan kawasan hutan di sana. Paling cuma survei lalu menuliskan laporan tentang kondisi di sana. Tidak lupa mencantumkan hal2 yang tidak pernah dilakukan sebagai upaya kerasnya untuk eksistensi hutan tersebut.

Namun system hubungan yang jelas2 menjamin kelangsungan SDA di sana tidak dijadikan dasar analisis pengelolaan kawasan yang lebih luas. Memang, masing-masing daerah mempunyai karakteristik khusus. Nah, justru dari situ seharusnya mereka para buruh rakyat menggunakan otaknya membangun konsep pengelolaan kawasan. Bukankah teori dibangun berdasarkan serangkaian pengalaman yang telah dilakukan dan terbukti berhasil. Penghargaan atas berbagai upaya masyarakat pun seharusnya diwujudkan dalam bentuk yang lebih kongkrit. Bukan hanya acara seremonial berupa penghargaan yang tidak jarang justru meruntuhkan system yang sudah ada.

Aneh bin ajaib memang kalau kita berpikir dan menggunakan kata hati atas realitas yang terjadi. Kok bisa terjadi. Tapi… ya kembali.. ego dan kepentingan akibat keserahan, ketamakan memang bisa membutakan mata hati. Benar betul apa yang disampaikan Mahatma Gandhi tentang ketamakan tersebut : “bumi mampu menghidupi seluruh penghuni bumi, tapi tidak untuk satu orang yang tamak dan serakah”. Masalahnya, yang tamak dan serakah di bumi ini tidak cuma satu, tapi mungkin separo penghuni bumi. Lebih celaka lagi, si orang tersebut memiliki kekuatan melalui kekuasaan, jabatan atau harta.


TIMBAL BALIK KEUNTUNGAN, KAWASAN - MASYARAKAT LOKAL

Tidak ada penghargaan yang riil atas berbagai upaya masyarakat terhadap pengelolaan sebuah kawasan. Penghargaan hanya dimaknai sempit berupa simbol2. Penghargaan award misalnya atau sekedar memuji saja. Program2 kerja yang dilakukan pun hanya untuk menjalankan projek. Apalagi sinergis antar program. Bahkan yang terjadi adalah tumpang tindih. Yang satu nanam, lainnya menebang. Satu melarang mengusik kawasan karena dilindungi, instansi lain mengeruk karena ada bahan tambang atau membuka kawasan untuk jalan atau pemikiman transmigran, perkembunan dll.

Timbal balik adalah salah satu bentuk mengembalikan pola hubungan antara warga yang tinggal di seputar atau didalam kawasan penting dengan kawasan itu sendiri. Dulu, bisa jadi masyarakat menggantungkan sepenuhnya pada alam. Tidak begitu berpengaruh besar ketika kebutuhan kayu untuk bikin rumah, post ronda atau lainnya. Tapi sekarang, dimana populasi sudah mekar, alam sudah tidak lagi mampu memenuhi seluruh kebutuhan warga. Hanya sebagian saja yang masih tersedia, itu pun harus mempertimbangkan keberlanjutannya. Dari kebutuhan 10, mungkin hanya 3 yang bisa disediakan. Lalu bagaimana memenuhi kekurangannya?

Inilah dasar yang harus dipertimbangkan dan cari solisusinya. Membebankan kewajiban tanpa memikirkan haknya yang terpotong karena kewajiban, bukan tindakan bijak. Namun itulah yang terjadi dengan kebijakan kawasan konservasi kita. Bahkan kalau kita tegas dengan aturan yang sudah dibuat, warga yang memiliki ternak, tidak akan bisa lagi mengambil rumput disana, diluar areal yang telah disediakan berupa zona pemanfaatan. Tidak ada solusi ketika kebutuhan tidak dapat terpenuhi akibat pengkotak2an melalui zona2 tersebut. Belum lagi ketika zona pemanfaatan dikuasi oleh pihak lain melalui ikatan kerjasama pengembangan kawasan. Ekowisata misalnya. Kemana warga akan mendapatkan rumput untuk ternak2nya. Mencari kayu bakar atau tanaman obat yang tumbuh liar di dalam kawasan.

Ini hanya sebuah contoh kecil yang bersifat teknis. Hal yang lebih besar dan strategis tentu perlu dipikirkan. Tidak hanya dipikirkan, tapi juga diimplemantasikan. Bagaimana membangun pola hubungan harmonis antara warga masyarakat dan kawasan. Pola hubungan yang mengikat didasarkan asas manfaat. Jika dulu pola hubungan dapat dibangun karena sama-sama saling memberikan. Alam meberikan modal hidup pada masyarakat, masyarakat menjaganya. Lalu dalam kontek sekarang bagaimana?

Tentu kita sama tahu, kondisi kehidupan masyarakat pinggiran kawasan penting yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi termarginalkan dan terisolir. Selain hak nya dipenggal dengan berbagai peraturan, tidak ada pengganti hak terpenggal juga fasilitas publik serta terbatas. Pelayanan kesehatan jauh dari kampungnya. Sekolah pun demikian. Itu pun dengan kualitas alakadarnya. Sarana struktur dan infrastruktur pun tidak terurus. Bantuan atau lebih tepatnya kewajiban negara untuk memfasilitasi perkembangan dan pembungan jarang sampai. Kalau pun ada, sangat tidak memadai pula. Jika melihat kondisi ini, menjadi wajar jika menjadikan hubungan alam dan manusia tersebut terputus.

Buat apa menjaga kawasan yang katanya penting, toh mereka tidak pernah mendapatkan apa2. Bahkan salah2, bisa jadi tertuduh. Sehingga ketika ada orang luar masuk memanfaatkan SDA yang ada, mereka tidak begitu peduli. Karena desakan untuk memenuhi kebutuhan dasar pula, mereka mudah tergiur oleh tawaran pihak luar mencuri asset-aset alam yang ada disana. Apalagi, orang yang seharusnya menjaga kerap berada di balik aksi pencurian tersebut atau menjadi aktor pencurian itu sendiri. Terlalu janggal kiranya jika kita di suguhkan dengan kata “oknum”. Karena jumlah yang menjalankan kewajiban dengan benar lebih sedikit dari pada yang menjadi aktor yang mendukung perusakan kawasan.

Menilik dari termarginalisasinya warga masyarakat pinggiran atau dalam kawasan konservasi, minimnya fasilitas publik, ditambah dengan segudang kewajiban plus pemotongan hak, adalah biang dari munculnya persoalan dalam pengelolaan kawasan. Tidak akan pernah terjadi sebuah kawasan dapat terkelola dengan baik tanpa keterlibatan masyarakat setempat. Bahkan berulang2 pemerintah menyatakan tentang keterbatasan personel yang harus mengurusi sekian luas kawasan. Omong kosong juga jika melibatkan masyarakat hanya pada pelaksanaan proyek2 yang kadang tidak dipahami manfaatnya. Pada rapat2 pengambilan keputusan tanpa tahu proses dan implikasi dari keputusan tersebut. Atau hanya melibatkan segelintir orang, entah itu tokoh atau kontak person atau sekelompok orang dalam proyek percontohan.

Kita harus jujur dengan sejujur2nya atas kesalahan system kelola yang dijalankan saat ini, jika memang tujuannya adalah untuk keberlanjutan kawasan tersebut. Harus berani keluar dari egoisme yang selama ini justru mendorong proses perusakan kawasan. Merubah kebijakan dan betul2 melihat persoalan riil yang ada dilapangan.

Memberikan berbagai fasilitas publik sebagai timbal jasa warga terlibat, langsung atau tidak langsung menjaga eksistensi dan fungsi hutan adalah salah satunya. Fasilitas publik tidak hanya berupa fisik, tapi juga pelayanan yang lebih dari mencukupi. Paling tidak, fisik dan pelayanannya setara dengan yang ada diperkotaan. Pelayanan kesehatan, pendidikan, administrasi desa dll. Selain itu, meningkatkan kapasitas dan pengetahuan dalam memanfaatkan asset-aset alam yang sekaligus meningkatkan fungsi kawasan itu sendiri. Untuk menjalankannya, tentu perlu bantuan lain untuk menjalankan gagasan2 yang berkembang ditingkat masyarakat. Baik melalui modal usaha maupun pemasarannya. Akses transportasi harus diperbaiki tidak hanya mengedepankan keuntungan. Tapi lebih sebagai bagian timbal jasa. Timbal jasa buat warga akan sempurna ketika beban pajak pun diringankan, atau bahkan dihapuskan.

Berbagai fasilitas tersebut diberikan sebagai bagian dari penghargaan atas jasa warga menjaga eksistensi dan fungsi kawasan. Namun begitu, perlu juga mensinergiskan dengan kebijakan lain dari pemerintah sendiri. Jangan memulai melanggar dengan kebijakan lain. Misalnya pertambangan, membangun sarana fisik di dalam kawasan yang dalam aturan memang dilarang, atau memberikan pengelolaan pada swasta. Karena ini akan menjadi noda atas berbagai upaya dalam membangun pola harmonis yang sudah tercipta....

0 Response to "KAWASAN KONSERVASI, SEBUAH ANGAN2"