lets dance to republic of disasters

Saya membangun rumah ini dengan menjual 4 sapi yang saya miliki, menebang pohon sukun, nangka dan kelapa..
kalau bambu, kebetulan saya punya cukup banyak.. sekalipun sekarang masanya kurang baik untuk mengambil bambu..
Jika ditotal... saya lebih suka mengeluarkan 10 - 15 juta untuk membangun rumah, tanpa harus cape-cape...

dialog singkat itu begitu saja keluar disela kesibukan mbah Karyo membangun kembali rumahnya yang runtuh akibat gempa. Gempa di pagi hari, sabtu 27 Mei 2006 yang meluluh lantakan sebagian Jogjakarta dan Klaten. Mbah Karyo tidak mampu menjawab saat muncul pertanyaan, akan menanam apa untuk musim tanam saat musim penghujan datang. Kebingungan cukup kentara diantara ketegaran menghadapi petaka akibat pegeseran sesar opak, di selatan Jogja ini. Ya, akan menamam apa? cukup jelas, apa yang harus ditanam saat musim tanam tiba 1 bulan ke depan. Yang tidak jelas adalah, bagaimana dia harus menanam. Aset yang dia miliki telah terkuras untuk membangun rumah barunya.

"Ya.. paling pinjem mas", jawabnya singkat. Pinjam sama siapa, sedangkan tetangganya sama-sama mendapatkan musibah akibat gempa berkekuatan 5,9 richter. Bank plecit, sebutan untuk rentenir yang mulai bekerja secara terstruktur. Dengan tawaran kemudahan untuk diakses oleh semua kalangan menengah ke bawah, bunga tinggi tidaklah menjadi kendala. ancaman terampasnya aset lain pun jarang dijadikan pemikiran banyak warga di pedusunan jika betul2 tidak mampu membayarnya. dari mulai ternak sampai tanah..... atau mungkin juga anak gadis yang baru menginjak ABG...

Jogja memang tidak seperti Aceh. Yang terguyur dolar, euro atau rupiah untuk proses pembangunan kembali. tapi Jogja tidak lah se ironis jember, Banjarnegara, atau Pangandaran yang sama-sama terkena bencana. Paling tidak, masih cukup banyak LSM lokal, nasional maupun internasional maupun lembaga-lembaga kemanusiaan dan pembangunan yang berkomitmen untuk memulihkan dan membangun kembali paska bencana. Sekalipun tidak sesuai janji yang terlontar dari mulut sang WAPRES, Jogja masih mendapat 749 milyar untuk proses pembangunan kembali.

Janji dan Kenyataan
Rasa peduli semua kalangan atas ancaman bencana cukup gamblang oleh semua warga negara. Saat Merapi menunjukan kegagahannya.. mempertontonkan lidah apinya.. memamerkan dengus nafas panasnya. Hampir semua pejabat tinggi datang berkunjung. Bahkan, disaat warga "terpaksa" mengunggsi, sang presiden pun menyempatkan diri bermalam di tengah warga yang mengungsi. sekalipun dalam semalam, warga terpaksa pula harus berdesakan karena merelakan tempatnya dipake sang presiden yang wajib steril, khususnya keamanan dirinya. Pengalaman kunjungan ke Jember yang mengancam penyintas kelaparan karena jatah nasi bungkusnya terancam tidak bisa masuk lokasi pengunsian akibat sistem protokoler kepresidenan, agaknya tidak berpengaruh. Rasa peduli sang pemimpin tentap harus ditunjukan, sekalipun warga harus menerima dampak negatifnya.

Rasa peduli pun kembali ditunjukan saat gempa meruntuhkan sebagian besar rumah warga di kab. Bantul. Dengan penuh iba, sang Presiden dan Wapres memindahkan sementara kantor kepresidenan ke Jogjakarta. Agaknya, kejadian bencana yang menewaskan 7000 jiwa (versi pemerintah 6.428 jiwa) nyaris dipersamakan dengan kejadian agresi militer II. sehingga Ibu Kota negara dipindahkan di Jogjakarta. Mungkin juga, dengan kepindahan tersebut, akan mempercepat kerja-kerja penanganan bencana. Menebus coreng martabat negeri seribu bencana saat kejadian tsunami di Aceh. atau, murni karena rasa peduli dan tanggung jawab yang ditunjukan sang presiden pilihan rakyat langsung????

apapun dari maksud dibalik itu, yang jelas, keberadaan orang no 1 dan 2 di jogja sangat tidak produktif dan sama sekali tidak membantu. sistem protokoler yang tidak berubah dalam kondisi apapun, termasuk saat menangani bencana justru memunculkan masalah. Kritik tajam Puji Pujiono atas keberadaan adalah satu yang terungkap dari sekian pandangan para pekerja kemanusiaan. Yang dibutuhkan adalah kebijakan cepat untuk memenuhi kebutuhan dasar penyintas sesuai dengan standard penanganan pengungsi. tempat perlindungan darurat, makanan, air bersih dan sanitasi serta pelayanan kesehatan. Namun, justru kebutuhan dasar tersebut tidak pernah sampai. jangankan sesuai standard, untuk kecukupan daruratpun tidak. dan yang sangat memalukan, justru kebutuhan tersebut datang bukan dari negara....
Lalu, apa untungnya.. apa pengaruhnya sang pemimpin negeri ini berada di Jogja????????????

Setiap warga yang rumahnya roboh, rusak berat dan ringan akan mendapatkan bantuan dari pemerintah. setiap jiwa yang meninggal akan mendapatkan santunan. akan dipenuhi kebutuhan makanan selama 3 bulan juga dana untuk pengadaan alat rumah tangga. itu lah beberapa angin surga terhembuskan dari sang maestro, Yusuf Kalla. Berita itu pun menyebar tidak hanya di seluruh penjuru Jogja dan Klaten, tapi sampe ke peloksok negeri. Hari berganti, bulan pun ikut bergeser... dari mei sampai menjelang tutup tahun....
Janji yang terlanjur keluar dari pemimpin yang terhormat pun ternyata hanya sebuah sampah..
Beruntunglah... hanya sebagian kecil warga jogja dan klaten yang percaya dengan janji tersebut..
sehingga, saat warga mulai berbenah untuk memulai proses pemulihan, hanya secuil warga yang melarang rumahnya dibenahi hanya karena menunggu janji yang harus diverifikasi terlebih dahulu...
sungguh menyedihkan tentunya, teramat menyedihkan ketika pemerintah tidak lagi percaya dengan warganya...
ketika turunnya kewajiban negara harus diverifikasi bukan oleh warga nya sendiri, tapi harus dari pemerintah...
dan yang lebih menyedihkan adalah... janji yang tidak ditepati. apalagi janji yang keluar dari seorang pemimpin yang dipilih langsung oleh rakyatnya...

Memenuhi kebutuhan dasar itu kewajiban, bukan bantuan.. apalagi santunan
Setiap ternjadi bencana, selalu kita mendengar kata2 bantuan pemerintah, bantuan presiden, wakil presiden, meteri social, menkokesra dll. Penyerahan pun dilakukan dengan seremonial panjang dengan liputan pers. Sebelumnya, disiapkan acara penyerahan tersebut, jika perlu dilakukan gladi resik. Dipilih siapa wakil masyarakat yagn akan menerima, harus mengucapkan apa saat bantuan diserahkan. Jika perlu lagi.. harus diiringi tangisan sebagai bentuk rasa terimakasih…

Sungguh memuakan tontonan ini. betulkah barang yang diberikan adalah bantuan dari individu sang pejabat? Atau diambilkan dari kas negara. Presiden, Wapres, menteri atau gubernur hanyalah penyalur saja. Tidak hanya seremonial yang tidak perlu, tapi juga manipulasi kata2 ketika “bantuan” tersebut ternyata diambil dari uang negara, uang rakyat Indonesia.

Bagi pemerintah, memenuhi seluruh kebutuhan dasar serta membangun kembali paska bencana adalah kewajiban. Kewajiban tersebut tidak hanya saat dan paska kejadian, tapi juga berbagai upaya meminimalisasi atau kerennya mereduksi risiko dan dampak bencana. Kewajiban tersebut jelas tertuang sebagai mandat negara dalam pembukaan Undang2.
Sebuah penghianatan tentunya ketika kewajiban tersebut tidak dijalankan. Sebuah penipuan juga ketika kewajiban tersebut disulap menjadi sebuah santunan. Yang artinya, harus diterima sekalipun tidak mencukupi. Ketika tidak terpenuhipun, gak jadi soal. La wong namanya aja bantuan, atau santunan. Ngasih boleh, gak juga gak pa2..

Mungkin terlihat sepele manipulasi kata tersebut. Tapi bermakna dalam. Sangat dalam. Bahkan, kata-kata tersebut telah mafhum dan menghilangkan makna sejatinya. Warga tidak lagi menuntut haknya sebagai warga negara. Pemerintah yang mendapatkan segenap fasilitas dari rakyat pun tidak merasa harus menjalankan kewajibannya. Ketika bencana terjadi pun, cukup menunjukan rasa peduli, memberikan bantuan atau santunan, dan mengucapkan : “ini musibah, dan harus tegar menerima ujian dari Tuhan”. Aku bosan, begitu Iwan Fals dalam salah satu syairnya menkritisi para pejabat ketika mensikapi sebuah bencana.

Padahal jika dicermati, semua kejadian bencana yang merenggut ribuat nyawa tidak lepas dari tidak dijalankannya kewajiban pemerintah sebagai pelaksana jalannya negara ini. Informasi ancaman bencana tidak pernah disikapi dengan serius. Tidak ada tindakan preventif untuk mereduksi risiko dan dampak dari ancaman. Tata ruang, kebijakan dan sikap. Sekalipun Indonesia telah mendapatkan label republik bencana, tidak melandasi seluruh kebijakannya yang berperspektif reduksi bencana. tidak pernah ada upaya mitigasi dan kesiapsiagaan untuk mensikapi negeri ini berada di ring of fire dan himpitan 3 lembeng dunia. RUU pengelolaan bencana pun tidak kunjung selesai. Instansi yang mengurus pengelolaan bencana tidak jelas. Anggaran bencana disulap menjadi berbagai keperluan yang tidak masuk diakal. Dari mulai untuk asuransi dewan, sarana olah raga, perumahan dewan sampe untuk membeli mobil dinas.
Sungguh luar biasa jaminan atas keselamatan dan perlindungan untuk warga negara di bumi seribu bencana…

lets dance to republic of disasters….

0 Response to "lets dance to republic of disasters"